Reog Ponorogo, Simbol Bangsa Nusantara Tidak Boleh Tunduk Kepada Bangsa Lain

Seni Reog pada masa Ki Ageng Kutu merupakan sebuah kesenian yang ditujukan untuk menyindir pemerintahan dari kerajaan Majapahit..


Dari banyaknya kebudayaan asli Indonesia terdapat beberapa kebudayaan yang diakui oleh dunia sebagai warisan budaya dunia. Bahkan dari kekayaan budaya yang dimilikinya, banyak pula bangsa- bangsa diluar Indonesia yang mempelajari budaya Indonesia. Seperti misalnya ada beberapa universitas di negara luar yang menjadikan bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajarannya ataupun terdapat sebuah pelajaran bahasa Indonesia yang menarik banyak peminat pelajar diluar negeri untuk mempelajarinya. Namun ternyata dari banyaknya kekayaan budaya yang dimiliki, terkadang terdapat pula permasalahan dari adanya kebudayaan yang diakui oleh negara lain. Seperti misalnya yang pernah terjadi pada kebudayaan Reog Ponorogo beberapa tahun silam.
Reog Ponorogo. Foto: indonesiatravelguides.com
Reog Ponorogo adalah salah satu kebudayaan asli dari Jawa Timur yang berasal dari Ponorogo. Namun walaupun termasuk kebudayaan asli, Reog Ponorogo ini memiliki banyak versi sejarah tentang asal- usulnya sehingga sulit untuk menentukan yang mana yang benar. Tapi dari sekian banyaknya versi sejarah, terdapat satu versi sejarah yang paling terkenal dalam menceritakan asal- usul Reog Ponorogo. Versi cerita yang paling terkenal ini memiliki sangkut paut terhadap pemberontakan terhadap kerajaan Majapahit.
Abad ke- 15, pada masa Kertabhumi, kerajaan Majapahit memiliki abdi yang bernama Ki Ageng Kutu. Singkat cerita Ki Ageng Kutu murka terhadap raja Majapahit kala itu yang seakan- akan tidak punya kekuasaan ataupun kehormatan karena selalu tunduk terhadap isterinya yang berasal dari Tiongkok. Hal ini menjadikan Kertabhumi tidak memiliki wewenang penuh dalam memerintah ataupun mengambil kebijakan kerajaan karena ‘disetir’ oleh isterinya. Kebijakan dan kekuasaan yang berkurang ini menjadikan jalannya pemerintahan kerajaan menjadi tidak bejalan dengan baik dan menimbulkan banyak permasalahan baru. Seperti misalnya menjalarnya praktik korupsi ditubuh kerajaan. Dan karena permasalahan yang timbul inilah, Ki Ageng Kutu dapat memperkirakan bahwa kerajaan Majapahit akan berakhir tidak lama lagi.
Berdasarkan analisanya itu, Ki Ageng Kutu kemudian mengundurkan diri sebagai abdi kerajaan dan pergi untuk mulai mendirikan sebuah perguruan bela diri. Melalui peguruan bela diri inilah kemudian Ki Ageng Kutu merencanakan perlawanan terhadap Majapahit. Namun seiring waktu berjalan, rencana pemberontakan itu perlahan- lahan sirna karena fakta bahwa kerajaan Majapahit memiliki lebih banyak pasukan dibandingkan dengan pasukan yang dimiliki Ki Ageng Kutu. Tapi walaupun begitu rencana Ki Ageng Kutu tidak berkurang sedikitpun untuk melakukan perlawanan. Dan kali ini ide yang muncul adalah melalui sebuah pertunjukan seni Reog.
Seni Reog pada masa Ki Ageng Kutu merupakan sebuah kesenian yang ditujukan untuk menyindir pemerintahan dari kerajaan Majapahit. Semakin sering Reog di pertunjukan semakin banyak pula masyarakat yang menyukainya. Banyaknya perhatian dari masyarakat menjadikan langkah Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan semakin besar.
Sindiran akan raja Kertabhumi, sangat menonjol pada pertunjukan Reog Ki Ageng Kutu. Kertabhumi di simbolkan sebagai sosok Singa Barong yang merupakan topeng berbentuk kepala singa yang berhias bulu- bulu merak. Kepala singa adalah simbol dari raja Majapahit yang merupakan kerajaan yang kuat saat itu sedangkan bulu- bulu merak adalah simbol dari pengaruh kuat dari bangsa Tiongkok yang selalu mengontrol setiap pergerakan dai kerajaan Majapahit seperti bulu- bulu merak yang selalu dapat melihat apa yang dilihat oleh kepala singa.
Selain disimbolkan dengan Singa Barong, armada perang Majapahit juga tidak lekang dari sindiran Ki Ageng Kutu sehingga dibuatlah tari Jatilan. Jatilan adalah tarian yang dilakukan oleh penari Gemblak yang menunggangi kuda- kudaan sebagai simbol kekuatan pasukan Majapahit. Gambaran Jatilan sangat kontras dengan gambaran Warok yang merupakan pasukan dari Ki Ageng Kutu. 
Kepopuleran Reog ternyata juga mampu menarik perhatian dari Kertabhumi sehingga akhirnya Kertabhumi menyadari sindiran yang di pertunjukan oleh Ki Ageng Kutu. Kertabhumi yang murka akhirnya menyerang perguruan Ki Ageng Kutu dan melarangnya untuk melanjutkan pengajaran tentang Warok. Namun walaupun sudah mendapatkan refresif dari kerajaan, murid- murid dari Ki Ageng Kutu tetap mempertunjukan Reog secara diam- diam hingga akhirnya, karena kepopuleran Reog, pertunjukan Reog kembali dipertunjukan kepada umum walau jalan ceritanya memiliki alur baru. Alur baru ini termasuk ditambahkannya karakter- karakter baru yang diambil dari cerita rakyat Ponorogo. Yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit dan Sri Genthayu. Itulah kemudian pertunjukan Reog dikenal dengan nama Reog Ponorogo. Dan jika ditarik garis waktu, kahadiran Ki Ageng Kutu sebagai pencetus ide Reog ini terpaut sangat dekat dengan sosok Sabdapalon Nayagenggong yang juga termasuk tokoh kontoversional dalam kerajaan Majapahit.


Reog Ponorogo pernah menjadi kontroversional karena sempat muncul di web resmi milik Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Pasalnya Reog yang ditampilkan pada web tersebut ditarikan di Malaysia dengan nama Malaysia tertulis di topeng Singa Barong. Hanya saja di Malaysia saat itu kesenian ini dikenal bukan dengan nama Reog Ponorogo, melainkan dikenal dengan nama Tari Barongan. Permasalahan ini juga semakin meruncing ketika pemerintah Malaysia mengakui bahwa Tari Barong tersebut adalah warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Sontak hal inipun membuat banyak kalangan seniman Reog Ponorogo dan masyarakat umum di Indonesia memprotes dan mengkritisi pernyataan tersebut.
Reog Ponorogo. Foto: pewartanusantara.com
Berbagai macam bukti dicari guna memperkuat argumentasi bahwa Reog Ponorogo atau Tari Barong berasal dari Indonesia. Seperti pernyataan hak cipta kesenian Reog yang telah dicatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Selain itu ditemukan pula informasi lain bahwa Dadak Merak yang terlihat di situs web resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Karena itulah ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi didepan kedutaan Malaysia di Jakarta.
Dan barulah pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia kala itu, Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain, menyatakan bahwa pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai kebudayaan asli dari negara itu. Reog yang disebut sebagai Barongan di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh orang Jawa yang merantau ke Malaysia sebelum pembentukan negara Indonesia. Hal ini menjadikan imigran tersebut tidak termasuk sebagai warga negara Indonesia.
Reog Ponorogo merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa segalanya sangat mungkin terjadi. Baik itu kehilangan, pengambil alihan, ataupun pelestarian. Semuanya dapat sangat mungkin terjadi dan hanya tergantung kemana arah fokus kita terhadap kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara yang sangat kaya dibanding negara- negara lainnya dan tidak dapat dipungkiri pula jika banyak negara- negara yang menginginkan kekayaan- kekayaan yang ada di Indonesia.
Kepedulian adalah kunci dari kelestarian. Baik itu kepedulian terhadap alam sekitar, tradisi, budaya, ataupun sesama manusia. Karena hanya dengan kepedulian sajalah kita dapat menunjukan bahwa kita, sebagai sesama warga negara Indonesia, saling menyayangi dan melindungi sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat digoyahkan. Karena jika kepedulian itu hilang, maka kasih yang banyak pun akan berubah menjadi kasih yang dingin sehingga tidak akan ada lagi kepercayaan, kecintaan, tolong menolong, bahkan kasih sayang itu sendiri.
Kepedulian adalah segalanya seperti yang dipikirkan oleh Ki Ageng Kutu yang sangat peduli akan kelangsungan kehidupan dari kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu menyadari bahwa Majapahit tidak akan bisa bertahan lama jika berada di bawah kendali bangsa lain. Karena ketika sebuah pemerintahan di kendalikan oleh kekuasaan lain, yang akan terjadi adalah kekacauan yang berujung kepada kehancuran. Dari kepedulian Ki Ageng Kutu itulah kemudian lahir kesenian Reog yang melambangkan bahwa bangsa Nusantara haruslah berdiri sendiri dan tanpa dibawah kendali siapapun atau bangsa manapun. Inilah yang harus mampu menjadi inspirasi bagi generasi muda bangsa Indonesia agar tetap bisa mempertahankan kemerdekaan Indonesia sehingga Indonesia tetap kuat dan tidak mudah tergoyangkan walau diterpa badai disegala sisi kehidupannya. Indonesia tergantung kita. Karena Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara



Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Reog_%28Ponorogo%29


<< Sebelumnya                  Selanjutnya >>

Rahasia Dibalik Karapan Sapi Dari Pulau Madura

Karapan Sapi bukan hanya sekedar tradisi merayakan hasil panen, tapi juga memiliki nilai-nilai lain yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Madura...


Salah satu tradisi asli tanah Nusantara yang sudah diakui oleh dunia adalah Karapan Sapi. Karapan sapi atau adu balap sapi adalah salah satu kebudayaan asli pulau Madura di Jawa Timur yang sudah dikenal oleh dunia luas. Bahkan kini menurut kabar, sebuah produsen mobil sport kelas dunia menjadikan Karapan Sapi sebagai inspirasi dalam pembuatan mobil super cepat mereka.
Karapan Sapi merupakan kebudayaan yang sudah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang masyarakat pulau Madura. Tidak ada sejarah pasti tentang asal muasal dari Karapan Sapi, namun dari banyaknya cerita yang beredar, tradisi Karapan Sapi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat pulau Madura yang mayoritas adalah  petani.
Konon, pulau Madura adalah pulau yang gersang dan kering sehingga sangat sulit untuk dijadikan lahan pertanian oleh masyarakat sekitar. Melihat keresahan dari masyarakat, seorang pangeran yang bernama Ketandur berinisiatif untuk memanfaatkan tenaga sapi untuk mengolah lahan. Dan benar saja, setelah melalui berbagai macam percobaan, lahan yang awalnya gersang dan tidak bisa ditanami berubah menjadi lahan yang subur. Masyarakat yang melihat hasil dari usaha pangeran mulai mengikutinya sehingga akhirnya seluruh daratan dipulau Madura menjadi subur dengan hasil panen yang berlimpah.
Masyarakat yang ada di pulau Madura awalnya, sebelum usaha dari pangeran berhasil, menggantungkan hidupnya dari hasil laut bagi mereka yang tinggal di daerah pesisir dan beternak sapi bagi mereka yang berada jauh dari pesisir. Melihat banyaknya sapi inilah kemudian pangeran mendapatkan ide untuk memanfaatkan tenaga sapi untuk mengolah lahan.
Masyarakat yang merasa gembira karena akhirnya mendapatkan panen yang melimpah kemudian mengungkapkan kegembiraan mereka dengan cara mengikuti inisiatif dari pangeran Ketandur. Yaitu mengadakan adu balap sapi. Area pertanian yang sudah di panen menjadi arena balap sapi tersebut dan akhirnya Karapan Sapi tercipta dan bertahan sampai dengan saat ini sebagai wujud syukur masyarakat atas hasil penen mereka. Mungkin itulah kenapa Karapan Sapi biasanya diadakan sekitar bulan Agustus sampai dengan September.
Karapan Sapi. Foto: bisniswisata.co.id
Namun ternyata Karapan Sapi bukan hanya sekedar tradisi merayakan hasil panen, tapi juga memiliki nilai-nilai lain yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Madura. Seperti misalnya nilai- nilai ekonomi, religius dan magis, serta seni. Nilai- nilai inilah yang menjadikan kenapa Karapan Sapi seperti sebuah tradisi yang sangat sakral keberadaannya bagi masyarakat pulau Madura.
Karapan Sapi ternyata bagi sebagian masyarakat memiliki nilai- nilai ekonomi yang dapat membantu kehidupan ekonomi mereka. Karena ketika Karapan Sapi di selenggarakan, akan ada banyak orang yang datang untuk menyaksikannya. Banyaknya orang yang datang ini menjadikan mereka yang berjiwa bisnis melihat peluang untuk mengembangkan bisnisnya dengan berdagang. Seperti misalnya sekedar berdagang makanan atau minuman serta assesoris yang berkaitan dengan Karapan Sapi bagi turis yang datang. Hal ini terjadi karena bagi masyarakat pulau Madura sendiri, pegelaran Karapan Sapi adalah tentang pesta rakyat yang harus dimeriahkan.
Siapa yang dapat menyangka bahwa nilai- nilai religius dan mistis ternyata juga bersentuhan langsung dengan Karapan Sapi. Betapa tidak, karena mayoritas penduduk bangsa Indonesia masih memegang kuat kepercayaan dengan hal- hal mistis. Dan hal inipun ternyata juga berlaku pada Karapan Sapi. Karena bagi mereka yang mempercayai hal- hal mistis seperti itu tentu saja patuh terhadap hukum tidak tertulis tentang pantangan- pantangan dalam merawat serta melatih sapi mereka. Seperti tanggal/ hari baik dalam perawatan sapi. Dan tidak jarang mantra-mantra juga digunakan ketika sapi- sapi akan bertanding yang diyakini dapat membawa keberuntungan dan menang dalam pertandingan.
Bahkan sapi- sapi yang diperlombakan dalam Karapan Sapi bukanlah sapi- sapi yang ‘biasa- biasa saja’. Karapan Sapi biasanya hanya diikuti oleh sapi- sapi yang memiliki kriteria khusus karena bagi banyak orang, Karapan Sapi adalah ajang adu gengsi. Itulah kenapa diperlukan sapi- sapi khusus yang ikut serta. Seperti misalnya, sapi yang berdada air atau bentuk tubuhnya kecil ke bawah, berpunggung panjang, berkuku rapat, tegar, tegak, kokoh, berekor panjang dan gemuk. Sapi- sapi seperti ini dalam hal perawatan juga sangat jauh berbeda dengan sapi- sapi lainnya sehingga juga membutuhkan dana yang besar dalam perawatannya. Karena ketika sapi tersebut menang tentu saja akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Selain itu, harga dari sapi yang menang akan melambung tinggi berkali- kali lipat dibanding sapi biasa atau sapi yang tidak memenangkan pertandingan.
Tapi diluar dari kepercayaan mistis dan juga ekonomi, ternyata Karapan Sapi juga bersentuhan juga dengan seni. Seni menjadi salah satu hal yang di tonjolkan dalam setiap perlombaan karapan sapi karena seni menjadikan satu sapi berbeda dengan sapi lain. Para pemilik sapi yang sapinya diperlombakan rela mengeluarkan dana yang cukup besar untuk mendandani sapinya agar menarik perhatian penoton dan menjadi sapi yang sedap di pandang mata. Makanya tidak heran jika kita menonton secara langsung Karapan Sapi akan melihat sapi- sapi yang mentereng penampilannya.
Selain seni, kadang prinsip- prinsip dari hukum fisika juga dipakai dalam pembuatan Kaleles. Kaleles adalah tempat dimana joki atau pengendara sapi mengendalikan sapi diantara dua sapi. Kaleles biasanya ada diantara dua ekor sapi satu tim (dua ekor sapi dihitung satu peserta. Berarti jika ada dua peserta sapi itu menandakan ada empat ekor sapi). Para pengrajin Kaleles tidak bisa dikatakan sembarangan dalam membuat Kaleles, karena Kaleles yang dibuat harusnya sesuai dengan besar dan bentuk tubuh sapi serta dibuat tidak terlalu berat sehingga tidak mengganggu kecepatan lari sapi. Dan tidak hanya sapi, pengrajin Kaleles juga harus memperhatikan kenyamanan serta keamanan dari Joki yang mengendarai sapi- sapi itu.
Selain seni dalam menghias sapi, banyaknya orang yang datang dijadikan sebagai ajang mempertunjukan kesenian lain dari pulau Madura. Seperti misalnya kesenian tari ataupun musik tradisional. Pertunjukan seni ini menjadi sangat penting mengingat tidak sedikit turis, lokal maupun internasional, datang dan hanya mengenal Madura dari sudut pandang Karapan Sapi saja. Bahkan bagi penduduk asli pulau Madura sekalipun, pertunjukan seni tari dan musik ini sangat penting karena akan mengingatkan mereka bahwa Madura tempat tinggal mereka sangat kaya akan tradisi- tradisi yang lainnya sehingga kesenian tari dan musik tersebut tidak akan mudah hilang dari ingatan dan akan terus terjaga keberadaannya.
Karapan Sapi. Foto: alambudaya.com
Karapan Sapi sama seperti budaya dan tradisi dari daerah- daerah lain di Indonesia. Yaitu bukan sekedar ritualitas semata yang tidak memiliki nilai- nilai tertentu. Karena sebuah tradisi atau kebudayaan yang masih dipertahankan sampai sekarang selalu memiliki indikasi bahwa tradisi atau kebudayaan tersebut mengingatkan mereka yang melakukannya akan sesuatu. Bisa sejarah, ajaran nenek moyang, atau ajaran dari Tuhan yang selalu tersirat didalam setiap tingkah laku para pendahulu.
Dari Karapan Sapi kita bisa mengetahui bahwa selalu ada nilai- nilai yang terkandung didalam setiap peristiwa yang sudah sejak lama ada. Nilai- nilai itu dipertahankan karena diyakini mampu menjadi ingatan tersendiri bagaimana para leluhur kita dahulu berfikir dalam memecahkan permasalahan mereka. Hal ini penting terlebih di zaman modern ini dimana segalanya selalu dihadapkan dengan sesuatu yang instan.
Karapan Sapi mengingatkan kita bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa yang besar dan selalu mampu memecahkan permasalahan mereka sesuai dengan ajaran yang telah diwariskan para leluhur. Dan dari Karapan Sapi pula kita dapat inspirasi bahwa Indonesia bukan bangsa yang mudah menyerah dan bukan bangsa yang pesimistis dalam menghadapi sebuah permasalahan. Jadi tidak perlulah kita meniadakan kebudayaan asli Nusantara atau melupakannya demi gengsi di zaman modern ini. Karena bagaimanapun juga, Ini Nusantara Kita dan Indonesia itu tergantung dari kita sebagai generasi mudanya.


Sayanusantara



Referensi:
http://www.lontarmadura.com/sejarah-karapan-sapi/
http://www.eastjava.com/tourism/pasuruan/ina/bull-race.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Karapan_sapi


<< Sebelumnya                 Selanjutnya >>

Punya Masalah Mulut? Inilah Rahasia Leluhur Nusantara Memiliki Gigi Yang Sehat

Terancam hilangnya tradisi Nyirih pada zaman modern ini juga menjadikan Nyirih menjadi kegiatan yang cukup jarang ditemui.

Nginang atau yang banyak dikenal dengan nama Nyirih adalah sebuah kegiatan yang sudah ada sejak lama di bumi Nusantara. Keberadaannya yang sudah lama di bumi Nusantara ini diperkuat dengan banyaknya para penjelajah pada masa lalu yang membahasnya. Seperti misalnya Marcopolo dalam catatannya, sekaligus juga memperkuat pernyataan penjelajah sebelumnya (Ibnu Batuta dan Vasco Da Gama) yang menyatakan bahwa terdapat masyarakat di timur yang memiliki kegemaran makan sirih.
Nyirih atau tradisi makan sirih dikenal dengan banyak nama karena tradisi ini menyebar secara luas di beberapa daerah di Nusantara. Tradisi ini dibeberapa daerah dikenal dengan nama Bersugi, Bersisik, Menyepah, Nyusur, dan Nginang. Bahkan bagi masyarakat Jawa kuno sendiri, tradisi Nyirih ini adalah sebuah tradisi yang sudah menjadi kewajiban. Maka tidak heran jika banyak orang tua- orang tua yang melakukan dan mempertahankan tradisi ini sampai sekarang. Namun walaupun begitu, kini tradisi Nyirih sudah banyak dilupakan oleh generasi muda.
Bukan tanpa alasan tradisi ini mulai ditinggalkan. Banyak sekali yang mangatakan bahwa masuknya budaya mengemil dan merokok adalah beberapa hal yang menjadikan tradisi ini hilang. Selain itu tradisi Nyirih ini, bagi mereka yang belum pernah mencobanya, mungkin adalah tradisi yang menjijikan karena orang yang Nyirih selalu meludah cairan berwarna merah. Namun itu bukanlah darah, melainkan merupakan campuran dari bahan- bahan yang digunakan untuk Nyirih.
Nyirih. Sumber: caraterunik.com
Nyirih adalah campuran dari bahan- bahan alami yang biasa didapatkan didaerah sekitar kita. Seperti daun sirih, kapur sirih (di beberapa daerah disebut Enjet), gambir, dan buah pinang. Bahkan dibeberapa daerah, terkadang juga dicampur dengan Tembakau. Dan karena campuran tembakau inilah banyak pula orang yang menanyakan kesehatan kegiatan Nyirih.
Seperti kita tahu, tembakau adalah bahan utama dalam pembuatan rokok. Namun apakah kegiatan Nyirih yang juga menggunakan tembakau sama berbahayanya dengan rokok? Hal ini ternyata pernah dilansir dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Board of Health and Welfare pada 1997. Dalam penelitiannya, mereka menemukan bahwa pada produk Smokeless Tobacco atau produk tembakau non- rokok, termasuk juga didalamnya Nyirih, dijumpai resiko yang sama dengan merokok namun lebih kecil. Seperti misalnya terhadap resiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah yang akan diterima Smokeless Tobacco akan meningkat 2 kali lipat dibandingkan ketika tidak mengkonsumsi tembakau. Sedangkan pada perokok, resiko ini meningkat menjadi 3 kali lipat. Namun walaupun memiliki resiko yang besar, bukan berarti mereka yang biasa Nyirih selalu menggunakan tembakau di setiap campuran Nyirih mereka.


Dibalik setiap resiko yang mungkin ada, Nyirih adalah kegiatan yang memiliki nilai positif bagi mereka yang melakukannya. Seperti yang biasa kia dengar dari Mitos yang banyak berkembang tentang Nyirih itu sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa kegiatan Nyirih adalah kegiatan yang dapat membuat gigi dan gusi lebih kuat dan sehat. Selain itu, kegiatan Nyirih juga di yakini dapat menghilangkan bau mulut yang tidak sedap.
Namun ternyata, itu bukanlah sebuah mitos belaka yang tidak memiliki dasar ilmiah. Kuat dan sehatnya gigi dan gusi adalah karena daun sirih memiliki kemampuan sebagai antiseptik, antioksidan, dan fungisida. Daun sirih memang adalah salah satu daun yang banyak digunakan untuk pengobatan tradisional yang banyak digunakan. Biasanya, orang menggunakan daun sirih sebagai obat dari sariawan, sakit mata, keputihan, demam berdarah, eksim basah dan eksim kering, luka bakar dan lain- lain.
Menurut Hariana didalam buku yang berjudul Tumbuhan Obat dan Khasiatnya, daun sirih adalah daun yang mengandung minyak atsiri sampai dengan 4,2%, senyawa fenil prapanoid dan tannin. Senyawa- senyawa ini adalah senyawa yang bersifat antimikroba dan anti jamur yang kuat dan dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Diantaranya adalah Escherichia Coli, Salmonella sp, Staphylococcus, dan dapat mematikan Candida Albicans.
Apa yang dikatakan oleh Hariana, ternyata juga di dukung oleh Ditjen POM pada 1980 yang menyebutkan bahwa pada daun sirih dijumpai senyawa Flavonoid dan Tanin yang bersifat anti mikroba dan senyawa Kavikol yang memiliki daya membunuh bakteri lima kali lebih kuat dari fenol biasa. Berarti, daun sirih mampu menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh ketika bakteri tersebut.


Bagi banyak orang, Nyirih adalah kegiatan yang biasa dilakukan pada waktu luang mereka. Karena bagi mereka Nyirih dapat menghilangkan beban fikiran yang sedang dihadapi, mengganjal rasa lapar, menghilangkan jenuh dan memperkuat gigi mereka. Bahkan bagi sebagian orang, Nyirih kadang kala dijadikan hobi.
Nyirih. Sumber: papasemar.com
Terancam hilangnya tradisi Nyirih pada zaman modern ini juga menjadikan Nyirih menjadi kegiatan yang cukup jarang ditemui. Terlebih jika yang Nyirih itu anak muda. Kegiatan Nyirih ini kebanyakan dilakukan oleh orang tua yang mayoritas sudah berusia lebih dari 50 tahun. Bahkan saking jarangnya, berbagai macam kegiatanpun sering dilakukan untuk melestarikan tradisi ini. Salah satunya dengan menyelenggarakan lomba Nyirih di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Perlombaan yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah berusia lanjut ini dilakukan pada setiap tahunnya. Dan uniknya, dalam perlombaan, setiap orang yang ikut serta dalam perlombaan meracik dan memakan sirih sambil berbalas pantun, menari atau menembang.
Kegiatan Nyirih sudah sulit ditemukan pada masyarakat perkotaan karena bagi banyak orang mungkin Nyirih adalah kegiatan yang sangat menjijikan dan tidak memiliki nilai guna. Itulah kenapa banyak orang yang lebih memilih mengisi waktu luangnya dengan merokok. Padahal manfaat yang didapatkan dari merokok dan menyirih sangat jauh berbeda dan jauh berbahaya merokok dari pada menyirih. Namun mungkin karena faktor lingkungan, merokok kini sudah menjadi sebuah gaya tersendiri bagi masyarakat.


Nyirih sangat sulit dilepaskan dari meraka yang sudah lanjut usia terlebih jika mereka Nyirih sejak masa muda mereka. Salah satu faktorya adalah karena mereka sudah merasakan khasiatnya. Dan dari banyaknya sumber, orang yang melakukan Nyirih biasanya memiliki tubuh yang kuat, gigi yang sehat dan utuh, kulit yang segar dan panjang umur. Itu karena Nyirih terbuat dari bahan- bahan organik dan tanpa bahan kimia sama sekali. Berbeda dengan rokok yang hampir 99% adalah bahan kimia. Jadi masih lebih memilih rokok kalau nenek moyang kita sudah mencontohkan cara yang sehat untuk hidup? Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara



Referensi:
1.http://mikirpintar.blogspot.co.id/2015/09/tradisi-nginang-ternyata-juga-bermanfaat.html
2.http://www.banyuwangibagus.com/2014/10/tradisi-suku-osing-banyuwangi.html
3.http://www.gedangsari.com/tradisi-nyirih-nginang-di-gunungkidul-tradisi-leluhur-jangan-luntur.html
4.http://manfaat.co/16-manfaat-daun-sirih-hijau.html

Penting. Inilah 3 Alasan Hilangnya Sebuah Sejarah Yang Dapat Berakibat Hancurnya Sebuah Bangsa Di Kemudian Hari


 Eksistensi sebuah bangsa ditentukan dari kepedulian bangsa tersebut akan sejarah yang ada. Sejarah yang hilang akan menjadikan suatu bangsa akan hilang pula dikemudian hari


Sejarah dalam bahasa Arab disebut dengan kata Sajarotun yang terdapat dalam Al-Qur’an. Didalam kitab tersebut, Sajarotun dimaknai sebagai pohon. Dalam kitab tersebut, pohon juga dibagi menjadi dua jenis pohon. Yaitu pohon yang baik dan pohon yang buruk. Kedua pohon ini ditentukan dari kualitas akarnya yang jika akar pohon tersebut baik maka batang serta buah dari pohon tersebut juga baik dan berlaku juga sebaliknya.
Namun ternyata analogi dari pohon ini juga dapat dimaknai sebagai perjalanan hidup seorang manusia. Dimana akar itu adalah analogi dari pola pikir, batang adalah analogi dari perbuatan, dan buah adalah analogi dari hasil. Jadi jika seseorang berbuat baik sudah pasti itu adalah analogi dari buah yang baik yang berasal dari akar yang baik. Dan jika seseorang berbuat jahat, sudah menjadi sebuah ketetapan juga jika buah yang buruk juga berasal dari akar yang buruk.
Hanya saja permasalahannya, pohon juga dianalogikan sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari banyak manusia karena sebuah bangsa sudah pasti memiliki sejarah masa lalu. Dan tidak sedikit pula manusia yang ada didalam bangsa tersebut tidak menyukai sejarah dari bangsanya dan akhinya berbuat kerusakan yang dapat menjadi analogi “bakal akar pohon yang buruk”.
Tidak hanya di Indonesia, negara- negara yang ada di dunia saat ini adalah negara yang bersinggungan langsung dengan kehidupan modern. Segalanya menjadi lebih mudah dan dituntut cepat dalam memenuhi kebutuhan. Baik itu berupa kebutuhan yang bersifat primer, sekunder, atau tertier sekalipun. Berbagai macam cara terkadang dilakukan guna mencapai segala kebutuhan tersebut dan tidak jarang juga harus menyingkirkan segala jenis hal yang memiliki kemungkinan sebagai penghambat.
Sesuai dengan sebutannya, situs bersejarah adalah situs- situs yang memiliki sentuhan langsung dengan kehidupan masa lalu yang berdampak sangat besar bagi kehidupan masa kini. Seperti misalnya hal- hal yang berkaitan dengan pejuangan kemerdekaan ataupun bebagai macam penemuan- penemuan. Dan situs bersejarah ini adalah situs yang sangat berharga karena dapat menjadi sebuah ingatan tersendiri bagi orang- orang yang melihat atau berada disitus tersebut. Sehingga mereka yang datang dapat merasakan semangat, spirit, ataupun mendapatkan insprasi dari para pejuang dan penemu dimasa lalu.
Candi Prambanan
Sumber: news.liputan6.com
Namun ternyata, tidak bisa di kesampingkan, kehidupan modernisasi seperti sekarang ini juga berdampak kepada hilangnya situs- situs bersejarah. Cukup banyak situs-situs bersejarah yang hilang karena bersinggungan, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan pekembangan jaman karena banyaknya anggapan yang meyatakan bawa situs bersejarah dapat menjadi penghalang perkembangan salah satu sisi penunjang kehidupan manusia. Dan berikut SayaNusantara akan mengungkapkan beberapa penyebab dari hilangnya situs- situs bersejarah baik yang ada di Indonesia ataupun yang ada di negara- negara lain di dunia.


1.  Ketidaktahuan dan Kecerobohan
Ketidaktahuan seseorang adalah hal penting yang menyangkut kepada keilmuan seseorang tentang sejarah. Hal ini penting karena ketika seseorang tidak mengenal sejarah suatu tempat ataupun sebuah situs, maka besar kemungkinannya seseorang itu akan berbuat kerusakan bahkan menghilangkan situs bersejarah tersebut. Sebuah pengetahuan tentang benda- benda bersejarah sangatlah penting terutama dalam hal deteksi dini saat benda bersejarah tersebut ditemukan. Hal ini karena benda- benda bersejarah adalah benda- benda yang sudah sangat tua dan sangat rentan akan kerusakan sehingga walaupun kita adalah orang yang sangat ahli dalam benda- benda bersejarah sekalipun, kita sangat dituntut hati- hatian ketika bersentuhan dengannya. Ketidaktahuan seseorang akan sejarah ataupun situs-situs peninggalan akan memicu berbagai macam kecerobohan yang akan berdampak langsung kepada kerusakan ataupun hilangnya situs tersebut.
Hal ini pernah terjadi di Cremona, sebelah utara Italia, pada patung ”Two Hercules”. Tidak ada yang tidak mengenal sosok Hercules, bahkan masyarakat Cremona sendiri meyakini bahwa kota mereka dibangun oleh Hercules. Karena itulah mereka mengabadikan sosok Hercules dalam bentuk patung. Namun sangat disayangkan ketika dua orang turis datang untuk berfoto dengan patung berusia sekitar 300 tahun itu. Berniat untuk mengabadikan kunjungan mereka, kedua turis itupun berfoto dengan patung bersejarah tersebut dimana salah satu turis itu bergelantungan kepada salah satu bagian dari patung. Patung yang sudah tua itupun tidak kuat menahan beban dan akhirnya rusak.
Atau ketika sekelompok pemuda yang ingin berbuat baik dengan membersihkan coretan- coretan iseng di gua Mayrieres justeru malah menghapus lukisan gua yang sudah berusia lebih dari 15.000 tahun. Hal itu terjadi karena pemuda- pemuda itu tidak tahu bahwa di gua tersebut terdapat sebuah lukisan bukti sejarah dari manusia gua karena bercampur dengan coretan- coretan iseng yang ada disekitar lukisan tersebut dan lukisan gua yang dibersihkan itupun tidak bisa dikembalikan seperti semula.

      2. Tuntutan
Hal kedua yang sangat memungkinkan pengerusakan terhadap situs bersejarah adalah tuntutan. Faktor kedua ini lebih menekankan kepada mereka yang sudah mengetahui sejarah beserta situs- situsnya. Namun karena sebuah tuntutan, mereka akhirnya tidak mengindahkan pengetahuan mereka untuk merusak situs- situs bersejarah.
Kebutuhan adalah sesuatu yang sangat vital yang harus dipenuhi oleh semua makhluk hidup. Terutama kebutuhan primer yang wajib dipenuhi. Seperti kebutuhan akan pakaian, tempat tinggal, makanan, dan minuman. Dan karena keharusan inilah banyak makhluk hidup yang melakukan apa saja demi memenuhi kebutuhan primernya ini. Bahkan sekarang, seiring berkembangnya jaman, bukan hanya kebutuhan primer saja yang menjadi keharusan untuk dipenuhi, tapi juga kebutuhan sekunder dan tertier.
Dunia modern seakan- akan menjadikan warna- warna yang menghiasi kebutuhan primer, sekunder, dan tertier menjadi abu- abu sehingga banyak orang yang tidak bisa membedakannya satu sama lain. Hal inilah yang memicu banyaknya aktifitas yang dilakukan guna menghilangkan segala kemungkinan yang dapat menghambat. Seperti kemungkinan adanya situs bersejarah yang dapat menjadi penghambat seseorang tidak bisa mengembangkan kebutuhan ekonominya.



3.  Politik
Mungkin banyak yang tidak menyangka bahwa politik menjadi salah satu faktor dari hilangnya situs- situs bersejarah. Betapa tidak karena politik menyangkut masalah kekuasaan dan kekuatan, tidak sedikit situs bersejarah yang dihancurkan bahkan dihilangkan. Seperti misal hilangnya banyak bukti- bukti sejarah dunia yang mengakibatkan banyak dari generasi muda tidak mengetahuinya. Seperti hilangnya sejarah tentang kehebatan dan kebesaran bangsa Nusantara pada masa lampau atau sejarah jatuhnya kekhalifahan islam pada masa lalu.
Bagi sebuah kekuasaan, sejarah beserta bukti-buktinya adalah sesuatu yang sangat penting karena menyangkut kepada kelanggengan suatu pihak dalam berkuasa. Karena jika terdapat sejarah yang dirasa tidak sesuai dalam sebuah visi misi sebuah kekuasaan, sejarah itupun kemudian dihapus atau dimodifikasi sehingga diwaktu kemudian generasi muda bangsa itu tidak dapat mempemasalahkan atau mencari titik kesalahan bangsanya saat ini dengan masa lalu.


Sejarah adalah sebuah bukti nyata bahwa manusia mangalami perkembangan kemajuan hidup dari waktu ke waktu. Sangat banyak hal yang di masa ini diperdebatkan namun ketika melihat sejarah, masalah tersebut dapat diselesaikan dimana situs- situs bersejarah yang ditemukan menjadi bukti dari pemecahan masalah tersebut.
Dari masa lalu manusia bisa belajar tentang bagaimana seharusnya hidup dan berkehidupan dan dari masa lalu pula manusia bisa mengetahui dan mengerti nilai- nilai dari sebuah perjuangan dan pengorbanan. Tidak ada yang salah dengan sejarah seburuk apapun sejarah itu. Karena hanya dari sejarah saja kita bisa mencapai titik kehidupan seperti sekarang ini dan sangat disayangkan jika sejarah tersebut dihancurkan atau dihilangkan. Karena dari sejarahlah kita dapat mengetahui tentang apa, kenapa, bagaimana, siapa, kapan, sesuatu itu diperjuangkan. Jagalah sejarah kita dengan meningkatkan kepedulian kita terhadap ibu pertiwi dan warisan- warisannya. Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara



Referensi:
1.http://www.anehtapinyata.net/2015/12/situs-sejarah-rusak.html
2.http://www.boombastis.com/situs-sejarang-yang-hilang/14890



Terbongkar. Inilah Sosok Nyata Dari Keturunan "Nenek Moyangku Seorang Pelaut"

Suku Bajo mangajarkan kita bahwa tidak selalu dibutuhkan perubahan atau modernisasi untuk dapat menjaga alam...


Alam adalah hal yang sangat penting untuk dijaga keberadaannya. Tidak jarang dari beragamnya aktifitas manusia yang ada membuat keberadaan alam menjadi semakin terancam keberlangsungan ataupun keberadaannya. Berbagai macam cara dilakukan untuk menjaga keberlangsungan dan kelestarian alam baik dengan cara modern ataupun cara tradisional. Dan salah satu hal yang dilakukan dengan cara tradisional dalam rangka menjaga kelestarian alam adalah yang dilakukan suku Bajo dalam menjaga kelestarian laut.
Suku Bajo adalah salah satu suku yang ada di Indonesia dari sekian banyaknya suku yang ada. Dan yang membedakan suku Bajo dengan suku lainnya adalah pola hidupnya yang menyatu dengan laut. Suku Bajo tersebar di banyak tempat di Indonesia namun mayoritas atau kebanyakan berada di wilayah Sulawesi. Dalam kehidupannya, suku Bajo membuat tempat tinggal diatas luat atau bahkan dahulu mereka tinggal diatas perahu kayu.
Suku Bajo. Sumber: beritadaerah.co.id
Sama dengan kebanyakan suku lainnya yang ada di Indonesia, suku Bajo lebih memilih hidup menjauh dari kehidupan perkotaan. Mereka hidup dengan mempertahankan kearifan lokal mereka yang sudah diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Seperti salah satunya adalah cara hidup bersinergi dengan alam. Dan karena hidup menyatu dengan alam, suku Bajo pun kemudian dikenal dengan suku pelaut yang sangat ahli.
Dalam kehidupan kesehariannya, masyarakat suku Bajo secara umum hidup dengan cara tradisional. Baik dalam mencukupi kehidupan sehari- hari ataupun dalam bersosialisasi dengan kelompok masyarakat lain. Seperti misalnya dalam pembuatan rumah.
Dalam pembuatan tempat tinggal, masyarakat suku Bajo membangun rumah dengan bentuk panggung diatas permukaan laut yang bervariasi kedalamannya. Ada yang hanya sedalam satu meter bahkan sampai ada yang mencapai 8 meter. Sedangkan untuk bahan utama pembuatan rumah, masyarakat suku Bajo menggunakan kayu yang tahan terhadap air. Dan untuk menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainnya mereka menggunakan jembatan yang juga terbuat dari kayu.
Pemukiman masyarakat suku Bajo ini sempat akan dibangun jembatan beton oleh pemerintah setempat untuk menggantikan jembatan kayu. Namun ternyata rencana pembangunn tersebut tidak disetujui oleh masyarakat suku Bajo. Bukan tanpa alasan, karena bagi mereka ketika jembatan diganti dengan beton sangat besar kemungkinannya akan ada kendaraan bermotor yang masuk ke pemukiman.
Bagi masyarkat suku Bajo, kendaraan bermotor yang masuk kedalam pemukiman sangat besar kemungkinannya untuk merusak lingkungan. Seperti misalnya dari gas buang dan oli buangan kendaraan yang masuk dapat mencemari udara dan air disekitar pemukiman serta dari konsekuensi pembuatan jembatan beton yang dapat mengganggu ekosistem laut.
Lebih dari itu, tradisi juga budaya dalam kearifan lokal yang masih dipegang kuat oleh masyarkat suku Bajo menjadikan mereka pelaut yang sangat handal walaupun tanpa menggunakan terknologi modern. Karena tradisi nenek moyang mereka mengajarkan kepada mereka bagaimana cara mencari ikan serta menjaga lingkungan laut. 
Menyatunya masyarakat suku Bajo dengan laut menjadikan mereka mengenal tanda- tanda dari perubahan alam ataupun tentang cara membaca laut seperti misalnya mereka dapat mengetahui mana saja bagian lautan yang memiliki banyak terumbu karang yang dapat dilihat dari permukaan laut sekitar terumbu karangnya yang cukup tenang, banyak terdapat buih atau busa, udara berbau anyir, ataupun pada saat dayung perahu berdesir saat berperahu. Bagian terumbu karang di laut juga dapat terlihat pada malam hari melalui ilmu- ilmu yang dimiliki suku Bajo yang sudah diwariskan secara turun temurun itu. Yaitu dari pantulan cahaya bulan pada malam hari. Sinar atau kilauan cahaya bulan akan memantul jika misalnya cahaya tersebut terkena bagian terumbu karang. Ataupun pada saat elang laut mendekat ke laut pada saat jam- jam surut di siang hari.

Ilmu yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang suku Bajo ini bukanlah termasuk ilmu yang tidak memiliki dasar. Karena ketika diteliti olah para peneliti, mereka menyimpulkan bahwa pengetahuan suku Bajo ini memiliki dasar- dasar ekologi. Seperti misalnya pada pengetahuan mereka cara mengenali kawasan terumbu karang di laut itu. Terumbu karang yang ada di laut berfungsi sebagai pemecah gelombang atau penahan arus sehingga sangat wajar jika keadaan air disekitar terumbu karang itu cukup tenang. Dan karena permukaan air cukup tenang, jadi sangat wajar pula jika cahaya bulan pada malam hari dapat terpantulkan dan sangat wajar jika pada waktu saat- saat surut terdapat banyak elang laut mendekat. Karena pada terumbu karang tersebut banyak terdapat biota- biota laut yamg jadi makanan burung elang tersebut. 
Pengetahuan terhadap cara membaca laut ini sudah menjadi pengetahuan yang sangat langka. Karena hanya dimiliki atau bisa dipahami oleh mereka yang benar- benar hidup dari laut. Dan bukan waktu yang sebentar untuk dapat memahami ilmu pengetahuan ini karena diperlukan berbagai macam uji analisis untuk membuktikan kebenarannya. Dan masyarakat suku Bajo adalah salah satu suku yang telah mengerti ilmu ini dan menjadikan ilmu ini sebagai semacam acuan untuk dapat hidup.
Salah satu tradisi lain yang masih dijalankan oleh masyarakat suku Bajo, yang sudah ada sejak lama, adalah tradisi mereka dalam menangkap ikan. Mereka menggunakan alat- alat tradisional dalam menangkap ikan sehingga meskipun mereka pergi dalam waktu yang lama ataupun mendapatkan hasil ikan yang berlimpah, keadaan laut tidak akan terganggu oleh mereka. Tradisi melaut menangkap ikan suku Bajo dikenal dengan nama Palilibu, Bapongka atau Babangi, juga Sasakai.

baca juga: Kapal Jung, Bukti Keperkasan Nusantara Di Samudra 

Perbedaan dari ketiga jenis cara menangkap ikan masyarakat suku Bajo ini hanya pada lamanya mereka hidup dilaut. Sedangkan teknis penangkapan ikan, mereka lakukan dengan cara yang sama. Yaitu dengan cara Mamia Kadialo atau pengelompokan orang yang ikut dalam menangkap ikan.
Palilibu adalah cara menangkap ikan dengan cara yang sederhana menggunakan perahu yang bernama Soppe yang digerakkan dengan menggunakan dayung. Menangkap ikan dengan Palilibu hanya dilakukan beberapa hari saja dan kembali pulang. Ikan hasil tangkapan kemudian dibagi dua, untuk konsumsi keluarga dan untuk dijual.
Bapongka atau Babangi secara teknis juga sama seperti Palilibu hanya saja lebih lama. Bapongka adalah melaut selama beberapa minggu dengan membawa ikut seluruh anggota keluarga. Jenis perahu yang digunakan hampir sama dengan yang di gunakan saat Palilibu hanya saja lebih besar.
Sedangan Sasakai adalah kegiatan melaut yang bisa memakan waktu sampai berbulan- bulan lamanya. Wilayah jelajah Sasakai adalah antar pulau dan menggunakan perahu yang lebih besar yang terbagi menjadi beberapa kelompok.
Kegiatan melaut bagi masyarakat suku Bajo adalah kegiatan yang sangat sakral karena menyangkut kepada kebiasaan lama yang membuat mereka mengingat leluhur mereka melalui pengetahuan yang diwariskan. Karena kesakralan inilah kegiatan melaut baik Palilibu, Bapongka ataupun Sasakai selalu memiliki pantangan yang jika pantangan tersebut dilanggar maka hasil yang didapat, diyakini,  tidak akan maksimal ataupun diyakini akan membuat marah Roh penghuni laut.
Suku Bajo. Sumber: dream.co.id
Pantangan dalam melaut ini bukan hanya harus dijaga oleh mereka yang pergi melaut. Tapi juga oleh mereka yang ditinggalkan dirumah. Karena jika salah satu pihak melanggar pantangan ini diyakini akan menjadikan keadaan laut menjadi tidak baik karena Roh penghuni laut yang marah. Dan salah satu pantangan yang dijaga mereka adalah seperti tidak membuang air cucian beras disembarang tempat. Baik pada saat dilaut ataupun pada mereka yang ada dirumah.
Suku Bajo adalah salah satu suku yang memberikan kita bukti bahwa memang benar bangsa Nusantara adalah bangsa pelaut. Dan karena pengetahuan mereka terhadap laut inilah yang menjadikan bangsa Nusantara dahulu sempat dikenal dan dihormati oleh banyak bangsa. Dan karena pengetahuan akan laut inilah yang kemudian menjadi salah satu bukti kenapa banyak suku- suku Nusantara yang tersebar ke banyak penjuru dunia sejak dahulu kala.
Jika diteliti dari banyaknya kisah yang menjelaskan tentang kebesaran dari tanah Nusantara, baik dalam hal ilmu pengetahuan ataupun peninggalan- peninggalan lainnya, semua seperti mengkerucut kepada satu hal. Menyatu dengan alam. Alam sudah menjadi gantungan hidup para leluhur bangsa Nusantara sejah dahulu kala sehingga sangat wajar jika banyak sejarah kontemporer yang menjelaskan kenapa banyak dari mereka yang menyembah benda- benda alam seperti bulan, matahari, gunung atau yang lainnya. Hal itu bisa terjadi karena bagi mereka benda- benda dari alam tersebut adalah benda- benda yang sangat kuat dan tidak tertandingi hingga akhirnya banyak paham- paham aliran agama mainstream masuk ke mereka yang mengenalkan sosok Tuhan kepada mereka dan menjelaskan bagaimana Tuhan menciptakan benda- benda tersebut.

Baca Juga: Inilah Rahasia Dibalik Misteri Pantai Selatan 

Namun terlepas dari permasalahan aliran kepercayaan apapun, suku Bajo tetap menjadi sosok penerang bagi masyarakat modern saat ini tentang cara melestarikan alam sekitar atau laut dalam hal ini. Bahwa tidak selalu dibutuhkan perubahan atau modernisasi untuk dapat menjaga alam. Karena yang terpenting adalah kesetiaan juga konsistensi terhadap ajaran- ajaran yang sudah terbukti efek positifnya sejak dahulu kala. Karena terkadang untuk memecahkan sebuah permasalahan, kita harus tahu bagaimana cara leluhur kita dahulu memecahkan masalah mereka.


Sayanusantara


Referensi:
1. http://www.mongabay.co.id/2014/01/26/kearifan-suku-bajo-menjaga-kelestarian-pesisir-dan-laut/
2. http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbmanado/2014/11/26/bapongka-tradisi-penangkapan-ikan-laut-orang-bajo-yang-menghargai-alam/


<< Sebelumnya           Selanjutnya >>

Kuda Lumping, Simbol Sebuah Kedigdayaan Bangsa Nusantara

Sebuah pendapat mengemukakan bahwa Kuda Lumping adalah sebuah simbolisasi dari kekuatan rakyat dalam sebuah kerajaan..

Kuda Lumping adalah salah satu seni tradisional yang sudah sangat ternama di Indonesia. Siapa yang tidak mengenal Kuda Lumping? Hampir seluruh warga negara Indonesia mengenal tradisi ini. Bahkan, Kuda Lumping ternyata tidak hanya terkenal didalam negeri, melainkan juga terkenal di negara- negara lain sebagai sebuah tradisi tradisional Indonesia yang sangat mempesona. Namun apa sebenarnya makna dari Kuda Lumping itu sendiri?
Kuda Lumping adalah tradisi masyarakat yang sudah ada sejak dahulu kala yang berasal dari Jawa Tengah. Kuda Lumping jika dilihat sekilas adalah seni tari tradisional yang menggunakan perlengkapan berupa kuda anyaman yang terbuat dari ayaman bambu. Dan Kuda Lumping juga termasuk salah satu tradisi asli tanah Nusantara yang sarat akan hal- hal mistis.
Kuda Lumping disebut juga dengan nama Jaran Kepang atau Jathilan karena ayaman bambu yang dibuat menyerupai kuda yang digunakan dalam tarian ini menggunakan tali plastik yang di kepang sebagai pelengkapnya. Dan Kuda Lumping adalah sebuah tarian yang bertemakan prajurit- prajurit yang sedang menunggang kuda dalam medan pertempuran. Karena itulah pada setiap pegelarannya, kesenian ini selalu mengangkat tema pertempuran prajurit penunggang kuda.
Kuda Lumping. Sumber: Experienceoflife.net
Namun daya pikat lain dari Kuda Lumping, kebanyakan, justeru bukan pada tema prajurit penunggang kuda itu. Melainkan lebih tertarik kepada atraksi- atraksi para pemain dari Kuda Lumping tersebut yang lebih sering mempertontonkan atraksi yang mendebarkan. Seperti misalnya atraksi tubuh yang kebal terhadap benda- benda tajam. Atraksi ini sangat mendebarkan bahkan cukup mengerikan bagi sebagian orang karena para pemain Kuda Lumping terkadang mempertontonkan tubuhnya yang kebal terhadap kontak langsung dengan benda- benda tajam. Seperti misalnya adegan menyayat lengan sendiri dengan golok, menusuk lidah dengan besi- besi yang tajam dan besar, bahkan terkadang sampai atraksi berjalan dengan telanjang kaki di atas permukaan kaca yang pecah atau diatas bara api yang sedang menyala- nyala tanpa terluka sama sekali pada akhirnya.

Selain terkenal dengan ‘image’ atraksi unjuk kekebalan tubuh atau sering dikenal dengan debus ini, Kuda Lumping juga dikenal sebagai tarian kesurupan. Tari Kesurupan dilekatkan kepada Kuda Lumping karena hampir disetiap pertunjukannya, selalu saja ada pemain atau penonton yang kerasukan makhluk halus sehingga bertingkah laku tidak normal dan sangat ganjil. Untuk itulah disetiap pertunjukannya selalu dihadirkan seorang Paranormal untuk mengendalikan situasi kerasukan yang selalu muncul ini. Kehadiran Paranormal, sering juga disebut dengan nama Warok, ini sangat kontras terlihat diantara para pemain lainnya. Karena Warok berpakaian serba hitam dengan kumis yang hitam lebat. Inilah kenapa hawa mistis sangat terasa ketika kita menyaksikan pegelaran seni tradisional ini. 

Baca Juga: Inilah 4 Alasan Kenapa Harus Melestarikan Budaya Asli  Indonesia

Walaupun sangat terkenal, asal- usul dari Kuda Lumping masih sangat jarang dibahas. Sehingga sampai saat ketika kita mencari sejarah ataupun makna dari Kuda Lumping ini masih cukup sulit didapatkan. Karena itulah, berbagai macam versi pun muncul untuk mencari hubungan dengan sejarah dari Kuda Lumping ini.
Salah satu makna yang berkembang tentang Kuda Lumping adalah tentang seni tarinya. Banyak yang menyatakan bahwa seni tari Kuda Lumping ini menggambarkan tentang kisah seorang pasukan wanita yang sangat cantik yang menunggangi kuda putih yang memiliki rambut emas, ekor emas, serta sayap emas. Wanita penunggang kuda tersebut kemudian dikenal dengan gelar Jathil dan karena kudanya itulah dia berhasil melawan musuhnya yang menunggangi babi hutan sebagai tunggangan dari kerajaan Bantarangin. Kisah pertempuran ini dapat dilihat pada serial legenda Reyog abad ke 8 silam.

Selain dihubungkan dengan gerakan dari Jathil, terdapat pula sebuah pendapat yang mengemukakan bahwa Kuda Lumping adalah sebuah simbolisasi dari kekuatan rakyat dalam sebuah kerajaan. Dalam versi ini, Kuda Lumping disimbolkan sebagai keberanian, kekuatan, persatuan, kesaktian, bahkan kedigdayaan rakyat dalam menghadapi musuh mereka ataupun melawan kekuatan elit kerajaan yang memiliki banyak tentara. Mungkin pendapat ini dapat diperkuat dengan pementasan atraksi debus para pemainnya yang tidak mempan dilukai dengan benda tajam. 
Kuda Lumping. Sumber: Ulinulin,com
Hal yang manyatakan bahwa Kuda Lumping merupakan simbol dari kekuatan, bisa juga dilihat dari segi warna yang sangat dominan terlihat di setiap pegelaran Kuda Lumping. Seperti warna merah, putih, dan juga hitam. Merah simbol dari keberanian serta semangat yang berapi- api, putih sebagai simbol dari kesucian atau kebersihan diri dan hitam sebagai simbol dari kemarjinalan. Marjinal disini artinya rakyat itu bersifat netral, namun ketika mereka di tindas oleh penguasa, mereka akan melakukan perlawanan yang mungkin akan merugikan penguasa tersebut.
Namun diluar dari banyaknya pendapat tentang makna dari Kuda Lumping, Kuda Lumping adalah sebuah tradisi yang sangat perlu diperhatikan. Karena jika memang Kuda Lumping adalah simbol dari kekuatan dan kedigdayaan, maka sangat disayangkan jika makna tersebut tidak dimengerti dan dipahami oleh masyarakat modern saat ini. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti pergelaran Kuda Lumping yang kita saksikan tidak akan memberikan kita kekuatan atau inspirasi dalam hidup kita sehari- hari sebagai generasi penerus bangsa Indonesia.
Jika makna dari Kuda Lumping yang disimbolkan sebagai kedigdayaan ataupun kekuatan, rasanya sudah tidak perlu lagi jika Kuda Lumping dijadikan alat untuk mencari uang dari warung ke warung ataupun menjadi pegelaran seni yang hanya berdampak sementara kepada penikmatnya. Karena mungkin salah satu alasan dari Kuda Lumping itu masih ada sampai saat ini adalah sebagai sarana kita mengingat bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa yang besar dan digdaya pada masanya dan kita harus mempertahankan kebesaran dan kedigdayaannya sampai nanti. Karena suatu tradisi, seni, ataupun kebudayaan perlulah dimaknai, dimengerti dan dipahami agar menjadikan kita paham siapa kita ini dan seperti apa Nusantara ini pada masa lalu. Karena dengan memahami, barulah kita siap untuk mencintai dan berkorban untuk ibu pertiwi.

Sayanusantara.blogspot.co.id



Referensi:
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Kuda_lumping
2. http://www.negerikuindonesia.com/2015/05/kuda-lumping-kesenian-tradisional-dari.html
3.http://wayangkulitdankudalumping.blogspot.co.id/2011/07/asal-usul-tarian-kuda-lumping-jaranan.html


<< Sebelumnya                   Selanjutnya >>

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...