bentuk kampung yang memanjang dari utara ke selatan ini lebih menyerupai bentuk sebuah perahu. Karena menurut keyakinan megalitik masyarakat setempat, perahu adalah sarana bagi arwah untuk menuju ke tempat tinggalnya di alam baka..
Nusa
Tenggara Timur tidak hanya terkenal dengan pualu Komodo nya yang mempesona. Pulau
yang sudah menjadi salah satu tujuan wisata karena hewan khas Indonesia ini
mampu menarik perhatian banyak orang karena membuat banyak orang yang datang
baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri untuk lebih mengenal Indonesia.
Tapi ternyata terdapat tempat lain di Nusa Tenggara Timur yang sudah terkenal
sejak lama di kalangan para wisatawan. Nama tempat itu adalah kampung Bena di
kabupaten Ngada.
Tidak
jauh berbeda dengan kampung- kampung lainnya, kampung Bena adalah kampung yang
berisi penduduk asli di Flores. Hanya saja perbedaan dengan kampung- kampung
lainnya yang ada di Indonesia, kampung Bena adalah kampung yang tidak tersentuh
oleh perkembangan zaman. Berkunjung ke kampung Bena membuat banyak orang merasa
kembali zaman Megalitikum.
Kampung
Bena berada dikaki gunung Inerie yang ketinggiannya mencapai 2245 meter dari
permukaan laut. Gunung ini diyakini oleh masyarakat sekitar sebagai gunung
tempat dewa Zeta bersemayam dan melindungi kampung. Itulah sebabnya mereka
sangat menghormati gunung Inerie. Dan karena keberadaannya yang berada di daerah
pegunungan inilah yang menjadikan suasana udara di kampung Bena menjadi sejuk
berbeda dengan kebanyakan tempat lain di Nusa Tenggara Timur.
Suku
Bena tidak terlalu banyak penduduknya, karena hanya ada sekitar 45 rumah di
kampung ini. Namun walaupun hanya terdiri dari 45 rumah, kampung Bena terdiri
dari dari 9 suku berbeda. Seperti suku Dizi, suku Dizi Azi, suku Wahto, suku
Deru Lalulewa, suku Deru Solamae, suku Ngada, suku Khopa, suku Ago dan suku
Bena itu sendiri. Suku- suku ini bejajar bertingkat- tingkat di tanah yang
menanjak karena berada di daerah pegunungan. Suku Bena sendiri berada di tengah-
tengah tingkatan karena suku Bena dianggap sebagai suku paling tua sekaligus
sebagai pendiri dan nama kampung tersebut.
Namun
walaupun terdiri dari banyak suku, kampung ini membuktikan bahwa persaudaraan
tidak mengenal suku ataupun hubungan darah. Itulah kenapa di kampung ini persaudaraan
dan kekeluargaan antar suku sangat erat. Kegiatan semacam gotong royong pun
sangat sering di lakukan yang melibatkan ke sembilan suku tersebut. Seperti misalnya
gotong royong dalam pembangunan atau renovasi rumah tempat tinggal.
Di kampung
Bena, terdapat beberapa bangunan yang dianggap penting. Seperti misalnya
bangunan yang dikenal dengan nama Bhaga dan Ngadhu. Bhaga adalah bangunan yang
bentuknya seperti pondok berukuran kecil yang tidak berpenghuni. Sedangkan Ngadhu
adalah bangunan yang memiliki tiang tunggal dan memiliki atap yang dibuat dari
serat ijuk sehingga bangunan Ngadhu bentuknya mirip pondok peneduh. Tiang yang di
gunakan untuk membuat Ngadhu adalah tiang yang terbuat dari jenis kayu khusus
yang keras karena biasa difungsikan sebagai tempat menggantung hewan kurban
ketika pesta adat setempat. Namun diluar dari fungsi Bhaga dan Ngadhu, kedua
bangunan tersebut memiliki makna khusus bagi masyarakat kampung Bena. Karena bagi
masyarakt kampung Bena, Bhaga dan Ngadhu adalah simbol leluhur yang berada di
halaman Kisanatapat.
Kisanatapat
merupakan tempat khusus yang digunakan oleh masyarakat kampung Bena untuk
menggelar upacara. Upacara yang biasa dilakukan di Kisanapat adalah upacara
yang sakral bagi masyarakat kampung Bena karena melalui upacara ini mereka
meyakini bahwa leluhur mereka akan berkomunikasi dengan mereka. Bhaga dan
Ngadhu itulah simbol leluhur mereka. Bhaga adalah simbol nenek moyang dari kaum
wanita karena bentuknya menyerupai bentuk miniatur rumah, sedangkan Ngadhu
adalah simbol nenek moyang dari kaum laki- laki yang bentuknya menyerupai
sebuah payung.
Namun
selain ketiga tempat tersebut, ada sebuah tempat lain yang sangat penting bagi
masyarakat kampung Bena. Tempat itu dinamakan Batu Nabe. Batu Nabe adalah
sejenis susunan batu yang dibawahnya terdapat makam leluhur kampung Bena. Batu Nabe biasanya digunakan oleh tetua-
tetua adat kampung untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi di
kampung. Tidak jarang pula masyarakat kampung menaruh sesaji di Batu Nabe untuk
menghormati leluhur kampung Bena karena Batu Nabe adalah salah satu tempat yang
digunakan untuk bekomunikasi dengan nenek moyang.
Di kampun
Bena tidak hanya pola kehidupan masyarakatnya saja yang akan membawa kita
seakan- akan kembali ke jaman purbakala, karena di kampung Bena juga terdapat
banyak susunan batu yang berasal dari jaman megalitikum yang semakin menguatkan
kita bahwa kita kembali ke jaman purbakala. Batu- batu yang tersusun dengan
apik tersebut biasanya digunakan untuk upacara adat. Hal ini karena masyarakat
kampung Bena, sejak dahulu kala meyakini bahwa gunung, batu, dan hewan- hewan
harus selalu dihormati karena merupakan bagian dari kehidupan.
Keberadaan
kampung Bena yang membawa kita seakan kembali ke jaman megalitikum juga masuk
cacatan pemerintah kabupaten Ngada. Dalam catatan pemerintah kabupaten
tersebut, kampung Bena diperkirakan sudah ada sejak 1200 tahun yang lalu. Dan sejak
1200 tahun lalu pola kehidupan masyarakat serta budaya dan tradisinya tidak
banyak berubah sampai dengan hari ini.
Hal ini terlihat dari keadaan masyarakatnya yang masih memegang dengan
kuat adat istiadat serta budaya dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang
mereka.
Penduduk
Bena termasuk kedalam suku Bajawa dimana mayoritas masyarakatnya memeluk agama
katolik walaupun adat istiadat serta tradisi dan budaya warisan nenek moyang
masih mereka pertahankan. Masyarakat kampung Bena berprofesi sebagai petani
yang hidup dengan berladang. Namun walaupun begitu, kaum wanita di kampung Bena
diwajibkan untuk memiliki kemampuan untuk bisa bertenun. Hasil tenun kampung
Bena biasanya bermotof kuda dan gajah sebagai ciri khasnya.
Salah
satu pola kehidupan masyarakat di kampung Bena adalah menganut sistem
kekerabatan yang mengikuti garis keturunan dari pihak wanita atau ibu. Sehingga
ketika ada pria dari suku lain yang menikahi wanita dari suku Bena, maka pria
tersebut akan masuk menjadi suku Bena. Begitu juga dengan pria dari suku Bena
yang menikah dengan wanita dari suku lain yang harus menjadi bagian dari suku
isterinya.
Kampung
Bena adalah kempung yang memanjang dari utara ke selatan. Dan pintu masuk ke
kampung ini hanya dari utara karena diujung lain dari kampung ini, sisi bagian
selatan, adalah bagian puncak kampung yang merupakan tepi tebing yang terjal. Ketika
kita memasuki teras rumah warga kampung, kita akan menjumpai banyak tanduk
kerbau serta rahang dan taring babi yang dipajang menggantung dengan berderet
didepan rumah. Benda- benda yang di gantung secara berderet ini biasanya
berasal dari hewan- hewan yang dikorbankan pada saat upaara adat masing- masing
suku yang sekaligus memiliki fungsi khusus bagi masyarakat kampung Bena, yaitu
sebagai lambang status.
Video kehidupan masyarakat di kampung Bena, NTT
(Sumber Gambar: www.youtube.com Upload oleh Bakir Joyondaru)
Jika
lebih diperhatikan, bentuk kampung yang memanjang dari utara ke selatan ini
lebih menyerupai bentuk sebuah perahu. Karena menurut keyakinan megalitik
masyarakat setempat, perahu adalah sarana bagi arwah untuk menuju ke tempat
tinggalnya di alam baka. Namun selain keyakinan tersebut, bentuk kampung yang
menyerupai perahu adalah cerminan dari sifat kerjasama, gotong royong, dan
simbol dari kerja keras yang diajarkan oleh leluhur mereka dalam menaklukan
alam, mengarungi lautan, sampai akhirnya tiba di Bena.
Kampung
Bena, walaupun termasuk kampung yang tidak mengikuti perkembangan zaman sejak
1200 tahun lalu, membuktikan bahwa dengan gotong royong serta persatuan dan
kesatuan sebuah kelompok bisa menjadi abadi. Walaupun menutup diri dari
pekembangan zaman, tradisi yang dipetahankan oleh kampung Bena menjadikan
mereka sangat dihormati dan dicintai karena kesetiaan mereka terhadap ajaran
nenek moyang mereka. Tidak heran kampung yang sejak tahun 1995 dicalonkan
sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO ini selalu mendapatkan kunjungan dari
banyak wisatawan, baik asing atau lokal, yang mencintai mereka.
Dari
kampung Bena, Nusa Tenggara Timur kita bisa menarik kesimpulan yang bisa
dijadikan acuan bahwa untuk menjadi sosok yang dihormati dan dicintai,
kesetiaan terhadap ajaran nenek moyang adalah syarat utama yang harus
dilakukan. Karena ajaran nenek moyang tersebut adalah jati diri dan prinsip
yang akan menguatkan kita untuk tetap bertahan di era globalisasi ini.
Sayanusantara.blogspot.co.id
Referensi:
1.http://www.skyscanner.co.id/berita/bena-kampung-adat-dalam-pelukan-gunung-inerie-bajawa-flores
2.https://id.wikipedia.org/wiki/Kampung_Bena
3.http://travel.kompas.com/read/2012/02/22/1935413/Bena.Kemegahan.Warisan.Budaya.Zaman.Batu.di.Flores
No comments:
Post a Comment