Selain bermakna sebagai tarian yang menyimbolkan persatuan dan persaudaraan, tarian Li Ngae juga sering digelar pada saat panen jagung tiba..
Indonesia selain terkenal
dengan adat kebiasaan masyarakatnya yang dekat dengan alam, juga terkenal
dengan banyak seni yang bermakna mendalam. Salah satunya adalah seni tari dari
Kupang yang dikenal dengan tari Li Ngae. Tradisi yang konon berawal dari jaman
penjajahan ini termasuk salah satu tradisi yang sarat akan nilai- nilai
persatuan dan kesatuan yang dikemas dalam bentuk sebuah tarian.
Menurut salah satu sejarah,
tarian ini diciptakan oleh orang- orang yang dikumpulkan untuk kerja paksa oleh
tentara jepang. Namun tidak hanya mereka yang berasal dari Kupang saja yang
dipekerjakan, orang- orang tersebut diambil dari berbagai macam suku, agama dan
ras yang berbeda- beda. Beberapa orang yang dipekerjakan didalam kerja paksa
itu berasal dari Rote, Timor, Sabu, Alor, Belu dan Helong.
Orang- orang dari berbagai
macam daerah tersebut dipekerjakan sebagai pekerja jalan yang membangun jalan
dari Kupang sampai Noelmina di perbatasan kabupaten Kupang. Tidak hanya
dikumpulkan pada saat jam kerja, mereka juga dikumpulkan pada saat malam hari. Dibawah
sebuah tenda yang dijadikan tempat bekumpul, mereka mulai berbagi makanan dan
minuman termasuk saling bercengkrama dan bertukar cerita tentang kampung
halaman mereka masing- masing.
Terkadang pada saat saling
bertukar cerita, mereka membuat sebuah lingkaran sambil bermain pantun. Selain bermain
pantun yang berbalas- balasan tersebut, mereka juga menghentakkan kaki serta
menggoyang- goyangkan badan mengikuti irama dari pantun tersebut. Irama dari pantun
yang saling menyahut dan harmonis membuat mereka melupakan kelelahan setelah
bekerja seharian di jalan.
Namun walaupun berasal dari
daerah, suku, dan agama yang berbeda, pantun- pantun yang dimainkan terasa
dekat dengan mereka. Pantun- pantun tersebut serasa memberikan sebuah kekuatan
bagi mereka yang sedang di tindas oleh penjajah Jepang. Sehingga karena pantun-
pantun tersebut semangat mereka terbakar untuk dapat terus meningkatkan
persaudaraan dan persatuan diantara mereka.
Tapi selain bermakna sebagai
tarian yang menyimbolkan persatuan dan persaudaraan, tarian Li Ngae juga sering
digelar pada saat panen jagung tiba. Namun tidak semua orang dapat menggelar Li
Ngae pada saat panen jagung, hanya mereka yang panennya melimpah saja yang
dapat menggelar tarian ini. Karena memang dibutuhkan biaya yang tidak sedikit
untuk menggelar Li Ngae ini.
Tidak hanya menyangkut
masalah biaya alasan kenapa Li Ngae hanya diadakan oleh mereka yang panen
jagungnya melimpah. Namun juga faktor hama dari jagung tersebut. Bagi
masyarakat yang panen jagungnya melimpah, sudah pasti memiliki kekhawatiran
sendiri tentang hama yang dapat datang kapan saja menyerang jagung mereka. Mereka
khawatir jagung tersebut rusak terlebih dahulu terkena hama sebelum di jual
kepasar atau sebelum sempat mereka konsumsi. Oleh karena itu mereka menggelar
Li Ngae yang juga dikenal dengan nama buk Pariki.
Selain dikenal dengan nama
buk Pariki, Li Ngae juga dikenal dengan nama tarian injak Jagung. Dinamakan begitu
karena memang tarian ini dipercaya dapat mengawetkan jagung dengan cara yang
alamiah. Jadi jagung yang sudah dipanen, diinjak- injak dengan cara tertentu
sehingga hama yang kemungkinan datang jadi tidak datang. Jagung yang sudah
diinjak kemudian hanya dicampur dengan abu bakar kayu kesambi dan terbukti
jagung tersebut akan awet hingga bertahun- tahun kemudian.
Pada saat penggelaran
tradisi tarian Li Ngae sangat banyak sekali orang yang datang. Meskipun tidak
diberitahukan kepada banyak orang, orang- orang dari segala penjuru yang
mengenal tradisi ini selalu tahu dan datang untuk ikut berpartisipasi. Terutama
bagi para pemuda ataupun mereka yang sedang mencari pasangan. Bukan tanpa
alasan tradisi ini dijadikan sebagai ajang mencari pasangan atau jodoh. Karena
banyaknya orang yang datang, terutama kaum muda-mudi, sehingga mereka dapat
saling melirik satu sama lain.
Seperti kata para pujangga yang mengatakan bahwa dari mata turun kehati dan
menjadi cinta. Dan tidak sedikit pula mereka yang bertemu di pegelaran Li Ngae
kemudian menikah dan hidup bahagia sampai saat ini.
Terlepas dari bagaimana Li
Ngae di laksanakan atau di maknai, Li Ngae adalah sebuah kekayaan budaya asli
Indonesia dari Nusa Tenggara Timur yang haruslah selalu di lestarikan. Jangan sampai
tradisi ini hilang karena hantaman dari arus globalisasi yang masuk ke Indonesia.
Karena meskipun sudah banyak terlupakan, setidaknya tradisi ini mengajarkan
kita bahwa selalu ada cara untuk dapat mempersatukan serta mempertahankan
persatuan antar anak bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang.
No comments:
Post a Comment