Semua orang percaya
akan adanya Tuhan sebagai sosok pencipta, pemelihara, penjaga, dan pengatur
segala yang ada di alam semesta. Banyak juga tradisi- tradisi atau budaya-
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang kita tentang tata cara untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Terlepas dari apa itu Tuhan, kita akan membahas
dari mana asal kata Tuhan tersebut. Sehingga ketika kita sudah mengerti dan
memahami dari mana asal kata Tuhan, kita pun akan tahu bagaimana cara untuk
mendekatkan diri kepada-Nya.
Di olah dari banyak
sumber, ternyata pada mulanya, kata Tuhan merupakan sebuah plesetan dari kata
Tuan. Dan hal ini terjadi karena ulah salah seorang pemuka agama dari Belanda
bernama Leijdecker pada tahun 1678. Hal ini pernah diungkapkan oleh Alif Danya
Mukti yang dimuat dimajalah Tiara tahun 1984 yang mengatakan bahwa peristiwa
itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu penambahan bunyi h yang
nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya hembus, hempas, hasut, dan
tuhan. Alif juga mengatakan bahwa itu semua terjadi karena pengaruh lafal
daerah, rasa percaya diri yang kurang dan karena pengaruh dari penjajahan eropa
kepada nusantara pada waktu itu.
Kata Tuhan sendiri dalam bahasa melayu disebut dengan tuan. Buku
karaya Adolf Heuken SJ pada tahun 1976, dalam buku Ensiklopedi Populer Gereja,
menerangkan untuk perama kali tentang hubungan kata tuan dengan Tuhan. Buku
tersebut menyatakan bahwa tuan memiliki hubungan dengan kata Tuhan yang berarti
atasan, penguasa, atau pemilik. Sama maknanya dengan kata yang ada pada kata
tuan tanah atau tuan raja.
Hal serupa juga di nyatakan oleh ahli bahasa Remy Sylado
yang menemukan bahwa perbuahan kata tuan yang bersifat insani, menjadi Tuhan
yang bersifat ilahi, bermula dari kitab Melayu karangan Leijdecker. Hal yang ditemukan
adalah bahwa dalam terjemahan sebelumnya, yaitu kitab suci Nasrani bahasa
Melayu beraksara lain terjemahan Brouwerius yang muncul pada tahun 1668, kata
yang dalam bahasa Yunani nya Kyrios yang merupakan sebutan bagi Isa
Almasih ini dierjemahkan menjadi tuan. Kata yang diterjemahkan ini masih sama
dengan bahasa Portugis untuk Senhor,
Perancis Seigneur, Inggris Lord dan Belanda Heere. Tapi melalui karya- karya dari Leijdecker, kata- kata asing
tersebut diterjemahkan menjadi Tuhan dan kemudian penerjemah Alkiab bahasa
Melayu melanjutkan karya Leijdecker itu. Karena itulah dalam Kamus Besar bahasa
Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (orang katolik) tidak memberikan keterangan
apapun tentang kata Tuhan, kecuali menyamakannya dengan Allah.
Dari keterangan- keterangan tersebut kita bisa tahu bahwa
ternyata masih banyak peninggalan- peninggalan dari bangsa asing yang pernah
masuk ke Nusantara yang sudah membudaya di masyarakat Indonesia. Salah satunya
kata Tuhan ini yang menjadikan masyarakat tidak dapat mengartikan sendiri apa
itu Tuhan selain apa yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai Allah.
Beralihnya kata Tuan menjadi Tuhan salah satunya berdampak
kepada pemaknaan. Karena ketika kita memaknai kata Tuhan itu sebagai Tuan, maka
pemahaman yang mucul kemudian adalah proses pengabdian. Karena Tuan itu adalah
pihak yang ditinggikan, dihormati, dan ditakuti karena kuasanya dan kita berada
di bawahnya. Dan untuk mendekatkan diri kepadanya, caranya adalah melalui
mengabdi dengan cara melakukan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang
dilarangnya. Sama essensinya ketika kita mengabdi kepada suatu perusahaan atau
kerajaan.
Tapi ketika kata Tuhan tetap dimaknai dengan Tuhan, makna
yang tersirat adalah ritual. Karena masyarakat dibingungkan tentang bagaimana
cara mendekatkan diri kepada sang Pencipta. Mereka sudah terkungkung dalam kata
Tuhan yang mereka tidak mengerti maknanya. Sehingga apapun cara yang dilakukan
untuk mendekatkan diri kepada sang Pencipta hanya sebatas ritual dan tidak ada
essensi pengabdiannya.
No comments:
Post a Comment