Masyarakat suku Kajang yang melanggar aturan adat akan mendapat hukum adat yang berupa pengucilan. Pengucilan yang didapatkan tidaklah bersifat sementara, tetapi berlaku bagi semua keluarga si pelanggar sampai dengan generasi ketujuh.
Berkembangnya dunia menuju modernisasi seakan tidak bisa
dibendung. Karena hampir diseluruh sendi kehidupan ini, dalam waktu yang sangat
cepat, modernisasi selalu meng-update
diri untuk selalu dapat berkembang. Segalanya menjadi cepat, baik perkembangan
informasi ataupun tuntutan untuk memenuhinya. Namun dari berbagai macam
perkembangan zaman modern, masih banyak terdapat suku- suku di Indonesia yang
tidak terpengauh olehnya. Mereka tetap mempertahankan tradisi adat istiadat
yang sudah diwariskan nenek moyang mereka sampai dengan saat ini. Salah satu
suku itu adalah suku Kajang yang ada di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Suku Kajang. Sumber: Ammatoa.com |
Namun suku Kajang bukan hanya terkenal karena Doti, tapi juga
karena prinsipnya. Suku Kajang memiliki sebuah prinsip yang mereka pegang
dengan erat sampai dengan saat ini. Prinsip
tersebut berbunyi “Tallase Kamase-Mase” yang bermakna hidup apa adanya. Hidup
dengan apa adanya dalam sebuah kesederhanaan merupakan sejenis ideologi yang
berperan sebagai sebuah pemandu serta rujukan nilai dalam menggerakan kehidupan
sehari- hari mereka.
Beberapa kesederhanaan yang terlihat dari keseharian
masyarakat suku Kajang terlihat dari pakaian serta rumah tempat mereka tinggal.
Suku Kajang dalam kesehariannya tidak menggunakan pakaian yang berwarna
mencolok. Mereka hanya menggunakan pakaian berwarna hitam. Warna hitam sudah
seperti sebuah simbol bagi masyarakat suku Kajang. Karena bagi suku Kajang,
warna hitam memiliki filosofi hidup tersendiri. Warna hitam adalah simbol dari
gelapnya rahim di kandungan ibu kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal.
Bagi masyarakat suku Kajang, pakaian hitam bermakna sebuah kebersahajaan,
kesederhanaan, kesamaan dan juga kesetaraan masyarakatnya
Kesederhanaan suku Kajang tidak hanya terlihat dari cara
berpakaian mereka. Tapi juga terlihat dari rumah tempat mereka tinggal. Jika
diperhatikan, terdapat keunikan pada setiap rumah yang ada di suku Kajang,
karena semua rumah dibangun dalam bentuk, ukuran, arah rumah serta bahan
pembentuk rumah yang sama. Keseragaman yang terlihat pada bentuk rumah ini
memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat suku Kajang. Yaitu untuk
menghindari rasa saling iri didalam kelompok mereka sendiri.
Suku Kajang. Sumber: Ammatoa.com |
Bentuk rumah suku Kajang adalah bentuk yang berbeda dengan
rumah adat di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berbentuk rumah panggung.
Karena selain bentuknya yang sama dengan rumah lainnya di dalam suku Kajang,
ruangan pertama ketika kita memasuki rumah suku Kajang adalah dapur. Dapur yang
berada diruang depan rumah ini memiliki tujuan khusus yang bertujuan untuk
menunjukan kepada tamu yang datang berkunjung apa- apa saja yang dimiliki tuan
rumah. Karena bagi suku Kajang, seorang pemilik rumah dapat tercermin dari
keadaan rumahnya. Dan dengan dapur yang
ada di bagian depan rumah adalah memperlihatkan tidak ada yang disembunyikan
dari pemilik rumah kepada tamu yang datang.
Suku Kajang adalah salah satu suku yang masih memegang erat
warisan leluhur mereka sampai dengan hari ini. Salah satunya adalah dalam
penggunaan bahasa sehari- hari. Masyarakat suku Kajang dalam keseharian
menggunakan bahasa Konjo. Pada umumnya masyarakat suku Kajang, tidak pernah
merasakan duduk di bangku pendidikan formal. Sehingga tidak heran jika
kebanyakan orang suku Kajang tidak berbahasa Indonesia.
Pendidikan yang didapatkan oleh generasi muda suku Kajang datang
dari pengalaman hidup orang tua serta tradisi dan adat yang sudah ada. Sehingga
sangat wajar jika adat dan tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun
tidak hilang. Pengajaran yang didapat oleh anak- anak yang tidak belajar di
sekolah formal sama halnya dengan essensi dari home schooling pada umumnya. Sehingga
anak dapat mengetahui pengetahuan apa yang dimiliki orang tuanya dan orang tua
dapat mengetahui perkembangan dari anak secara langsung.
Walaupun tidak pernah bersekolah formal, suku Kajang memiliki
struktur kepemimpinan tersendiri. Struktur kepemimpinan ini mengatur segala kehidupan
masyarakat suku Kajang sehingga berjalan sesuai dengan ketentuan adat. Semua
orang di suku Kajang memiliki posisi tersendiri dalam struktur kepemimpinan ini
yang harus dilaksanakan secara jujur, tegas, dan konsisten. Struktur
kepemimpinan suku Kajang yang mengenai setiap orang dalam masyarakatnya ini
secara tidak langsung mengajarkan kepada masing- masing orang tentang arti
tugas dan tanggung jawab. Struktur kepemimpinan dalam suku Kajang dipimpin oleh
Ammatoa.
baca juga: Pertama kali di bahas!! Siapa bilang mereka tidak sekolah? ada makna Homeschooling dibalik pendidikan masyarakat suku adat di Indonesia.
baca juga: Pertama kali di bahas!! Siapa bilang mereka tidak sekolah? ada makna Homeschooling dibalik pendidikan masyarakat suku adat di Indonesia.
Ammatoa adalah pemimpin tertinggi dalam suku Kajang yang
merupakan pelaksana pemerintahan di dalam struktur kepemimpinan suku Kajang.
Ammatoa inilah yang bertanggung jawab pada pelestarian serta proses Pasang di
suku Kajang. Pasang adalah semacam petuah atau hukum yang tidak tertulis yang
tersampaikan secara lisan kepada leluhur. Hukum tidak tertulis atau Pasang disebut juga
dengan Pasang Ri Kajang. Ajaran dalam hukum adat tidak tertulis ini dinilai
sangat ampuh dalam mempertahankan keberlangsungan adat di suku Kajang.
Salah satu hal yang sangat dijaga oleh Ammatoa dan masyarakat
suku Kajang adalah hutan yang berada di sekitar pemukiman masyarakat suku
Kajang. Ammatoa membagi hutan- hutan di sekitar tempat tinggal suku Kajang
menjadi tiga bagian. Yaitu kawasan hutan Karamaka atau hutan keramat, hutan Batasayya
atau hutan perbatasan, serta hutan Laura atau hutan rakyat. Masing- masing
hutan ini dijaga oleh peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat suku
Kajang.
Seperti misalnya adat yang mengatur dalam penggunaan hutan
Karamaka atau hutan keramat. Hutan ini disebut sebagai hutan keramat karena
dianggap sebagai hutan pusaka dan melarang segala aktifitas di dalamnya. Hutan
ini termasuk hutan lindung karena masyarakat suku Kajang meyakini hutan ini
sebagai tempat turunnya manusia pertama kali ke bumi. Pada hutan ini juga,
masyarakat suku Kajang meyakini, tempat naik turunnya arwah dari bumi kelangit
atau sebaliknya. Sehingga hutan ini hanya dikhususkan untuk acara ritual saja.
Hutan Batasayya agak berbeda dengan hutan Karamaka. Karena
beberapa pohon dapat ditebang untuk diambil kayunya. Tapi walaupun dapat
menebang pohonnya, orang yang ingin menebang pohon haruslah mendapatkan izin
dari Ammatoa. Ammatoa hanya mengizinkan masyarakat menebang pohon untuk
keperluan pembangunan fasilitas umum. Dan setelah mendapatkan izin untuk
menebang pohon, masyarakat yang menebang pohon di hutan Batasayya diwajibkan
untuk menanam pohon yang baru sebagai penggantinya. Dan untuk penebangan
selanjutnya haruslah dilakukan setelah pohon tersebut tumbuh menjadi besar.
Biasanya penebangan pohon dilakukan dengan menggunakan alat tradisional dan
dilakukan secara gotong royong untuk mengeluarkannya dari area hutan.
Dan lalu ada hutan Laura yang merupakan hutan rakyat. Namun
walaupun dinamakan hutan rakyat, hutan ini tetap memiliki aturan tertentu yang
tidak boleh dilanggar masyarakat. Hutan ini dikuasai dan dikelola oleh
masyarakat suku Kajang.
Hutan- hutan yang terdapat di wilayah suku Kajang diatur
dengan sangat ketat dalam sebuah aturan adat. Dimana ketika ada masyarakat yang
melanggarnya, maka si pelanggar akan dikenakan denda yang juga telah diatur
oleh adat. Selain dikenakan denda, orang yang melanggar aturan adat akan
mendapat hukum adat yang berupa pengucilan. Pengucilan yang didapatkan tidaklah
bersifat sementara, tetapi berlaku bagi semua keluarga si pelanggar sampai
dengan generasi ketujuh.
Hukum adat yang sangat mengikat didalam suku Kajang dimaksudkan
untuk menjaga perilaku masyarakat agar selalu hidup secara serasi dengan alam.
Dan tugas Ammatoa lah untuk mendoakan manusia dan seisi alam agar terjauhi dari
bahaya yang bisa datang kapan saja. Hal lain yang diyakini oleh masyarakat suku
Kajang adalah daerah tempat mereka tinggal, Tanah Towa, adalah tanah tertua
yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan di muka bumi.
Suku Kajang. Sumber: bugismakassartrip.blogspot.com |
Salah satu hal unik yang dimiliki oleh suku Kajang adalah
mereka menolak kemajuan teknologi yang ada didunia. Karena mereka memiliki
keyakinan tersendiri dalam menjalai hidup, yaitu keyakinan untuk hidup secara
cukup. Masyarakat suku Kajang memanfaatkan apa yang sudah disediakan alam
kepada mereka dengan sewajarnya untuk tetap menjaga kelestariannya. Dan sebagai
sebuah keyakinannya, masyarakat suku Kajang memeluk sebuah keyakinan yang biasa
disebut dengan nama Patuntung, atau yang dalam bahasa Indonesianya bermakna ‘mencari
sumber kebenaran’.
Suku Kajang adalah suku yang sangat dikenal karena adatnya.
Karena mereka yakin bahwa dengan adat yang mengatur hidup dan kehidupan manusia
itu, manusia bisa hidup dengan serasi dengan alamnya. Seperti yang dikatakan
oleh Agus Mulyana, dimana dengan adat yang dipegang teguh ini, suku Kajang
dapat menciptakan titik keseimbangan antara manusia dan alam. Karena pada saat
dunia mencoba untuk menciptakan keseimbangan alam dengan menciptakan
modernisasi, suku Kajang tampil memberikan contoh bahwa untuk menciptakan
sebuah keseimbangan hidup antara manusia dengan alam, manusialah yang harus
hidup menyatu dengan alam.
Sayanusantara.blogspot.co.id
Referensi:
1.http://andihasbijaya.blogspot.co.id/2014/03/mengenal-suku-kajang-di-bulukumba.html
2.http://wisatasulawesi.com/mengenal-lebih-dekat-budaya-tana-toa-kajang-bulukumba/
3.http://travel.kompas.com/read/2013/06/28/1857219/Desa.Ammatoa.Tanpa.Listrik.Mobil.dan.Motor
4.http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Sulawesi-Selatan/Seni-Budaya/Suku-Kajang-Baduynya-Sulawesi-Selatan
No comments:
Post a Comment