Terdapat keunikan
lain di Indonesia yang terkenal dengan kebudayaannya. Seperti budaya yang ada
di suku Kaili, Sulawesi Tengah. Di suku ini terdapat sebuah tradisi
menyembuhkan orang yang sakit dengan cara yang sudah diwariskan secara turun
temurun oleh nenek moyang mereka. Tradisi tersebut dikenal dengan tradisi
Balia.
Menurut legenda,
orang Kaili berasal dari “bambu kuning’ yang erat kaitannya dengan “Sawerigading”
Savi yang bermakna lahir atau timbul dari bambu kuning. Bahasa Makassar ini
sama artinya dengan bahasa Kaili “Topebete Ribolovatu Mbulava” yang artinya orang
yang lahir dari bambu kuning. Orang Kaili yang meyakini Sawerigading sebagai
nenek moyang mereka, lantas mengikuti juga apa yang dilakukan oleh
Sawerigading. Termasuk tradisi Balia.
Tradisi Balia
tergolong unik karena hanya dilaksanakan ketika terdapat warga yang tidak
kunjung sembuh dari sakitnya. Walaupun sudah dibawa keberbagai macam tempat
pengobatan dan berbagai macam cara penyembuhan, bila sakitnya tidak kunjung
sembuh, biasanya tradisi Balia akan segera dilaksanakan.
Kaum Perempuan dari Suku Kaili, Sulawesi Tengah. Sumber Gambar: Protomalayans.blogpsot.com |
Walaupun masyarakat
Kaili sudah banyak yang memeluk ajaran islam, namun tradisi masyarakat yang bersifat
animisme masih sangat kental. Hal ini terlihat dari kepercayaan mereka akan
hal- hal gaib yang ada di sekitar mereka. Mereka meyakini bahwa bumi dan langit
memiliki penghuni atau penjaga yang disebut Karampua, bagi penjaga di langit,
dan Anitu, bagi penjaga di bumi. Selain dari itu, masyarakat setempat juga
meyakini bahwa segala yang ada di dalam alam juga memiliki penjaga. Seperti pada
benda- benda alam berupa batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit dan lain- lain. Dan
jika terdapat warga yang sakit dan tidak kunjung sembuh, masyarakat meyakini,
bahwa warga tersebut telah membuat penghuni yang ada di alam tersebut marah. Dan
bentuk sakitnya warga tersebut adalah bentuk teguran dari para penghuni alam
itu.
Berdasarkan bahasa,
Balia terdiri dari dua suku kata. Yaitu “Bali” dan “ia” yang bermakna “Robah Ia”.
Dalam hal ini kata robah ia lebih dimaksudkan dengan kata “rubah dia” yang
ditujukan kepada penyakit yang diderita seseorang agar dirubah keadaannya
menjadi sembuh. Dalam artian singkatnya, Balia dapat diartikan sebagai merubah
keadaan seseorang yang sakit menjadi sembuh.
Pelaksanaan upacara
ritual Balia biasanya dilakukan pada tempat yang terbuka. Seperti lapangan
ataupun halaman rumah yang luas. Kemudian pada tempat yang terbuka tersebut,
akan dibangun sebuah bangunan yang bersifat tidak permanent secara gotong
royong sebagai tempat ritual nantinya. Bangunan tersebut disebut dengan nama “Bantaya”.
Waktu pelaksanaan ritual biasanya pada malam hari selama 3 sampai 4 hari berturut-
turut yang penetapan waktunya ditentukan oleh pemangku adat setempat yang
disesuaikan dengan hari baik sesuai keyakinan orang Kaili.
Ritual ini
bersifat mistis karena menggunakan makhluk halus untuk menyembuhkan penyakit
yang diderita warga. Hal ini diyakini sebagai salah satu cara yang cukup ampuh
untuk menyembuhkan karena adat setempat meyakini jika sakitnya warga mereka
adalah karena mendapatkan teguran dari makhluk halus, maka yang dapat
menyembuhkannya adalah makhluk halus pula. Jadi tidak heran jika dalam ritual
ini ada warga yang kerasukan makhluk halus dan melakukan hal- hal yang aneh.
Walaupun sudah
memasuki zaman yang modern, namun Balia masih sering digelar oleh masyaraka
Kaili. Karena ketika Balia diselenggarakan terkadang masyarakat menjadikan
upacara tersebut menjadi ajang untuk berkumpul sebagai sarana silaturahmi antar
sesama. Tidak jarang pula karena banyak orang yang berkumpul terkadang
dijadikan sarana untuk berdagang oleh masyarakat setempat untuk membantu
kebutuhan ekonomi mereka.
Namun diluar
dari permasalahan itu, tradisi Balia pada masyarakat Kaili mengajarkan kita
bahwa manusia yang merupakan bagian dari alam semesta tidak bisa hidup sendiri
terlepas dari alam dan berlaku seenaknya terhadap alam. Hal inilah yang
diyakini oleh masyarakat Kaili, bahwa ketika manusia bertingkah laku seenaknya
terhadap alam pasti akan mendapatkan balasan secara langsung dari pemilik alam
semesta. Adanya keyakinan seperti ini tidak hanya diyakini oleh masyarakat
Kaili, tapi banyak juga keyakinan serupa didaerah- daerah lain di tanah
Nusantara. Namun walaupun begitu, terdapat nilai positif dari keyakinan
tersebut yang menjadikan manusia tidak bisa melakukan apapun sekehendak hatinya
tanpa menghormati keberadaan alam sekitarnya sehingga keberlangsungan alam
beserta ekosistem yang ada didalamnya dapat terjaga dan terus lestari.
Referensi:
http://dikadwijaya.blogspot.co.id/2014/11/tradisi-budaya-masyarakat-suku-kaili_15.html
No comments:
Post a Comment