Filosofi Kujang

Kujang merupakan simbol dari kekuatan atau kekuasaan Dewa

Kujang adalah sebuah senjata tradisional yang ada di Jawa Barat. Bagi masyarakat Jawa Barat, terutama Sunda, kujang merupakan sebuah pusaka yang sarat akan makna. Bukan hanya sebagai alat pertanian seperti yang banyak orang katakan. Namun juga sebagai simbol kekuasaan pada jaman dahulu kala. Lalu bagaimana bisa terjadi benda yang awalnya merupakan simbol kekuasaan lalu beralih menjadi alat pertanian?
Asal muasal kata Kujang adalah dari kata “Kudihyang”dari akar kata “Kudhi” dan “Hyang”. “kudhi” adalah bahasa Sunda Kuno yang memiliki pengertian senjata yang memiliki kekuatan yang ghaib. Sehingga benda yang bernama Kudhi kadangkala dijadikan sebagai jimat, penolak bala aau penghindar dari musuh dan penyakit. Sedangkan “Hyang” dapat disejajarkan dengan Dewa dalam beberapa kepercayaan. Namun bagi masyarakat Sunda sendiri, Hyang mempunyai arti yang lebih tinggi dari kedudukan Dewa. Ini bisa terlihat didalam ajaan “Dasa Prebakti” yang tercermin dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian disebutkan “Dewa bakti di Hyang”. Jadi secara terjemahan bebas,  Kujang adalah alat yang mempunyai kekuatan tertentu yang berasal dari para dewa. Atau bisa juga diartikan bahwa kujang adalah sebuah benda yang dijadikan simbol dari kekuaan Dewa (Hyang).
Sebagai sebuah senjata, Kujang tentu memiliki bagian- bagian seperti senjata- senjata lain pada umumnya. Namun yang unik dari kujang, selain bentuknya yang kecil, juga memiliki mata. Dan jumlah mata pada satu kujang dengan kujang yang lainnya terkadang berbeda. Mata yang paling banyak dimiliki satu kujang adalah 9 buah. Mata yang ada di kujang dikenal juga sebagai lambang “Mandala”. Sedangkan Mandala sendiri, bagi masyarkat Sunda, adalah sebuah tempat penyiksaan bagiarwan manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa. Disebutnya Buana Karma atau Jagat Panaka, yaitu Neraka.
Kujang
http://www.mbandung.com/wp-content/uploads/2013/04/kujang.jpg
Sebagai alat pertanian, kujang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sunda karena fungsinya sebagai alat pertanian. Pernyataan ini pun tertera dalam naskah kuno Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian (1518 M) maupun tradisi lisan yang berkembang dibeberapa daerah di Sunda. Bahkan bukti kujang sebagai alat pertanian masih bisa dijumpai pada masyarakat Badui, Banten, dan Pancer Pangawinan di Sukabumi. 
Namun ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa kujang yang beralih fungsi ini dikarenakan adanya perkembangan dari kemajuan teknologi, budaya, sosial, dan ekonomi pada masyarkat sunda sehingga kujang mengalami pergeseran bentuk, fungsi dan makna. Dari sebuah peralatan petanian kujang berkembang menjadi sebuah benda yang memiliki karakter tersendiri dan cenderung menjadi senjata yang benilai simbolik dan sakral. Dan wujud baru kujang tersebut seperti yang kita kenal saat ini diperkirakan lahir antara abad 9 sampai abad 12.

Sebagai benda pusaka, kujang tidak dapat dibuat dengan sembarangan. Tapi memerlukan waktu khusus, tempat yang khusus, serta pengrajin yang khusus. Seperti misalnya seorang Guru Teupa (penempa kujang), saat membat kujang harus dalam keadaan suci.  Dan keadan suci tersebut dilakukannya dengan cara berpuasa. Selain dalam keadaan suci, seorang Guru Teupa juga diharuskan memiliki daya estetika dan artistika yang tinggi. Sehingga ia harus memiliki ilmu kesaktian sebagai sarana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna serta mampu menentukan ‘Gaib Sakti” sebagai tuahnya. Sedangkan tempat khusus unuk memuat (menempa) kujang disebut Paneupaan.
Kujang merupakan produk budaya masyarakat Peladang. Penamaannya cenderung kepada makhluk- makhluk yang banyak hidup didaerah ladang seperti kujang ciung dari burung ciung, kujang naga dari ular, kujang bangkok dari kodok, kujang kuntul dari burung kuntul, bahkan kujang wayang diperkirakan sebagai simbol untuk kesuburan. Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan. Tokoh dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan.

http://www.kujangsiliwangi.com/images/Pusaka-Kujang.jpg

Alasan kujang digunakan sebagai alat petanian diperkuat bahwa kerajaan Tarumanegara abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian. Mungkin saat itu kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarkat pada saat itu. Kujang diakui keberandaanya sebagai senjata khas masyarkat entis sunda. Kujang merupakan warisan budaya sunda pramodern.
Dari data diatas mungkin bisa kita lacak bahwa terdapat sebuah benang merah yang dapat menjelaskan apakah kujang itu sebenarnya? Dimulai dari fungsi kujang yang sebagai alat perladangan kemudian dilain kisah juga digunakan sebagai alat untuk menunjukan kekuasaan. Walaupun semua penguasa memiliki kujang, mereka semua tidak memiliki kujang yang sama. Kepemilikan atas satu jenis kujang ditentukan dari kekuasaan yang dimiliki seseorang. Seorang raja dan penasihat raja pasi memiliki kujang. Namun belum tentu iu adalah kujang dengan jenis yang sama.
Hal ini mungkin juga berlaku bagi kaum peladang yang juga memiliki kujang sama seperti para bangsawan. Namun kujang yang dimilikinya berbeda jenis. Selain dari pembedaan kepemilikan jenis kujang pada para bangsawan, hal yang haus dikeritisi adalah pada saat pembuatan kujang. Karena tidak mungkin pembuatan kujang yang digunakan untuk berladang sama dengan kujang yang dibuat unutk para bangsawan. Sudah pasti kujang yang diperuntukan untuk para bangsawan di buat oleh benar- benar seorang Guru Teupa. Tapi kujang unuk berladang apakah sama? Ini juga diperkuat oleh oleh sejarah yang banyak mengatakan bahwa kerajaan- kerajaan sunda kuno adalah kerjaan hindu, sehingga sudah barang tentu kasta- kasta pada masyarakat kerajaan itu juga ada. Karena salah satu ajaran hindu adalah diadakannya kasta.
Dalam ajaran hindu, terdapat empat kasta yag diatur dalam sebuah hukum. Yaitu hukum Manu. Kasta- kasta tersebut di simbolkan dengan mulut, lengan, paha dan kaki. Kasta Mulut atau dikenal dengan kasta Brahmana adalah kasta tertinggi. Yang berada di kasta ini adalah para ilmuan dan ahli agama. Pekerjaan yang mereka lakukan biasanya adalah sebagai penasihat raja. Lalu ada kasta lengan atau kasta Kesatria. Kasti ini diisi oleh para ningrat dan juga para prajurir. Selanjutnya ada kasta paha atau Waisya. Kasta ini diisi oleh para kaum pengusaha, pedagang dan juga petani. Dan di kasta kaki atau kasta Sudra adalah kasta yang di isi oleh para kaum sahaya.
Dan karena adanya pembagian kasta inilah kemudian jelas bahwa kujang tetap merupakan simbol dari kekuasaan. Sedang kujang yang digunakan untuk alat berladang adalah kujang yang memang dikhusus untuk kasta Waisya. Sedangkan kujang untuk kasta kesatria dan kasta bramana berbeda lagi jenisnya.
Dikatakan juga bahwa kujang merupakan simbol dari kekuatan atau kekuasaan Dewa. Mungkin ini menyangkut kepada kujang yang dimiliki oleh kasta Brahmana. Karena kasta ini adalah kasta yang menentukan jalannya kerajaan karena fungsinya sebagai penasihat raja dan menuntun kerajaan dengan ilmu- ilmu agama. Kasta brahmana inilah yang mengajarkan kepada kerajaan secara luas tentang bagaimana menjaga keserasian hidup antara manusia dan alam. Itulah kenapa kemudian nama kujang dikatakan berasal dari nama- nama hewan (alam). Dan jika memang ini ajaran yang diajarkan oleh Bramana, maka akan masuk akal jika kemudian ditemukan kujang-kujang dengan bentuk perempuan yang bermakna kesuburan.
Mungkin dari tulisan ini kemudian akan timbul banyak pertanyaan dan kritik- kritik karena kurang banyaknya dasar fakta yang dijadikan referensi. Namun dari persepsi ini kita akan benar- benar yakin bahwa kujang yang ada sekarang adalah bukti bahwa Nusantara dahulu adalah sebuah kerajaan yang sangat kuat karena ajaran- ajaran yang digunakan adalah ajaran para brahmana. Namun bukan mengkrucut bahwa karena ajaran hindu lah yang menjadikan kuat, tapi karena ajaran agama yang membahas tentang keseimbangan alam.


Referensi: budisma.net dan sumber lainnya


<< Sebelumnya                Selanjutnya >>

No comments:

Post a Comment

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...